Mohon tunggu...
Yuliana
Yuliana Mohon Tunggu... Auditor - Penulis Cerita Inspirasi dan Motivasi

Trust in Process

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dandelion

7 Agustus 2024   11:38 Diperbarui: 7 Agustus 2024   11:51 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin berhembus kencang dan langit semakin menggelap, butiran-butiran salju semakin menebal menutup jalan. Situasi sepi menyelimuti seisi kota yang kami lewati sore itu. "Quo sekarang jam berapa?" Tanya lelaki paruh baya yang sekarang duduk menyetir di depanku."Jam lima," jawabku kepadanya. 

Lelaki itu tertawa kecil sambil berkata, "Wah paman tidak menyangka masih jam segini,seperti sudah jam tujuh malam ya?" Aku hanya diam dan mengarahkan pandanganku ke jendela mobil. Hening kembali menyelimuti kami.

Tak berselang lama, kupejamkan mataku karena rasa kantuk yang semakin menjadi. Tiba-tiba kriittt... mobil kami mengerem mendadak, aku terkaget dan dengan nada tinggi bertanya "Ada apa paman Drey?" Paman Drey hanya memandangku sekilas "Lihatlah gadis itu!Kita harus memberinya tumpangan,"katanya sambil menunjuk keluar jendela. Kutolehkan segera kepalaku dan kulihat seorang gadis di sebuah halte membawa kotak kardus. 

"Siapa dia paman, apakah paman mengenalnya?" Paman Drey tak menjawabku dan terburu-buru keluar mobil sambil membawa payung. Kulihat Paman Drey berbicara dengan gadis itu dan tak berselang lama mereka masuk kedalam mobil.

Entah sudah berapa lama kami bertiga hanya terdiam di dalam mobil. Aku memfokuskan pandanganku kesisi lain dan enggan menyapa gadis yang duduk di sebelahku. "Halo namaku Moura, boleh tau namamu? Sepertinya kita seumuran. Aku 13 tahun dan ber..." Aku segera memotong perkataannya, "Tidak perlu mengenalku, kau hanya menumpangkan? Cepatlah turun jika kau sudah sampai!" Gadis itu tertunduk. 

Paman Dreyyang sadar akan situasi kami dibelakang segera menanggapi "Namanya Quo,walaupun badannya kecil tapi Quo ini sudah kelas satu SMA." Gadis itu terlihat terkejut dan meminta maaf kepada kami. Paman Drey tertawa sedangkan disisi lain aku hanya diam tidak merespon. Setelah beberapa saat gadis itupun turun.

Keesokan harinya ketika aku berangkat ke sekolah, kulihat banyak anak kecil menanam bunga di sebuah taman. Sambil berjalan aku terhanyut dalam pikiranku, selama ini aku tak pernah memiliki tujuan dan cita-cita. 

Arti sebuah cita-cita bagiku adalah mencapai apapun yang membuatku senang. Tak berselang lama "Kak Quo...Kak Quo!" aku mendengar seseorang memanggilku dari belakang. 

Kutolehkan kepalaku dan kulihat seorang gadis menghampiriku sambil berlari "Apakah kau mengingatku Kak? Aku Moura. Berkat Paman Drey dan Kakak, aku bisa sampai di panti dengan selamat,"katanya sambil tersenyum lebar.

"Ada perlu apa kau denganku?" Tanyaku kepadanya. Gadis itu tersenyum, "Aku hanya ingin memberimu ini sebagai tanda terima kasihku Kak," katanya sembari menyodorkan sebuah kotak kecil kepadaku. 

Aku memandangnya sekilas lalu berjalan pergi, "Pergilah, aku tidak butuh itu. Paman Drey yang menolongmu, seharusnya kau berikan saja kepadanya," kataku sambil berjalan menjauh. Namun, dia terus mengikutiku sambil berkata, "Aku mohon terimalah ini kak, sulit bagiku untuk menemui kalian lagi." Aku semakin mempercepat langkahku dan meninggalkannya.

Keesokan harinya, aku mencoba bertanya kepada penjaga taman untuk mencari tahu tentang anak-anak panti itu. Anehnya ketika aku baru mendekat ke pos, penjaga itu segera keluar dan menghampiriku, "Apakah kau yang bernama Quo? Aku sudah lama menunggumu untuk memberikan ini,"katanya sembari menyodorkan kotak kecil kepadaku. Aku menatapnya dengan raut kebingungan. 

Dia yang sadar dengan kebingunganku memperjelas kembali "Ini yang Moura titipkan kepada Paman untuk diberikan kepadamu sebelum dia dan anak-anak panti lainnya pindah. Saat itu kamu dengan Pamanmu menyelamatkan nyawanya dari badai salju. Moura menderita penyakit hipotermia yang sudah parah dan jika kambuh dia bisa hilang kesadaran waktu itu," katanya kepadaku.

Sesampainya di rumah aku memanggil Paman Drey untuk bersama-sama membuka kotak itu. Alangkah terkejutnya ketika kami menemukan sekantong biji bunga dan secarik kertas di dalamnya yang bertuliskan "Tanam dan terbangkanlah, disitulah buahnya. 

Terimakasih telah menyelamatkanku (Moura)." Setelah itu Paman Drey berinisiatif membeli taman panti itu untuk kami tanami biji bunga yang diberikan Moura. 

Aku rutin menyempatkan diri untuk membantu penjaga taman merawat taman itu. Setelah beberapa bulan kemudian, aku berkunjung lagi kesana untuk melihat taman itu dan ternyata taman telah penuh dengan bunga dandelion.

Aku mengikuti pesan Moura dengan mengambil bunga dandelion kemudian meniupnya. Kulihat bunga-bunga dandelion kecil berterbangan terbawa angin. Aku merasa memperoleh pelajaran hidup baru. Bunga dandelion adalah simbol keberanian. 

Dandelion yang tertiup angin akan tumbuh dimanapun mereka berlabuh. Bunga ini seperti mengajarkan bahwa aku harus berani mencoba sekalipun sulit dilakukan, berani bertahan dalam kesulitan, dan berani melawan kerasnya kehidupan. Aku sadar bahwa selama ini aku tidak memiliki keberanian untuk mencoba hal baru. Aku puas berada di zona nyamanku.

"Terimakasih telah menyelamatkanku Moura, aku akan berubah," kataku sambil tersenyum. Ternyata, motivasi untuk berubah menjadi lebih baik bisa datang dari hal yang tak menyenangkan dan tak terduga-duga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun