Pembelajaran daring yang telah berlangsung selama hampir 2 tahun terakhir dikarenakan adanya pandemi Covid-19 telah menghadirkan banyak inovasi baik dari institusi pendidikan khususnya di level Perguruan Tinggi maupun dari para dosen. Diantaranya adalah pengembangan dan pemanfaataan LMS (Learning Management System) sebagai jembatan antara dosen dan mahasiswa dan penggunaan berbagai media digital seperti Zoom meeting, Google meet, Kahoot!, Socrative, Quizizz, Quizlet, Google form, dll secara maksimal (Pratiwi & Ubaedillah, 2021).
Selain itu, pada perkembangannya juga telah dirumuskan adanya synchronous dan asynchronous learning -- pembelajaran secara langsung dan tidak langsung -- yang mana menumbuhkan autonomous learning diantara mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa telah mampu bertanggung jawab atas pembelajarannya masing-masing sehingga mendorong kreativitas dan inovasi (Waluyo, 2020).
Namun, sejak kasus Covid-19 telah menurun, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mewacanakan pembukaan kembali sekolah dan kampus untuk diadakan PTM (Pertemuan Tatap Muka). Sekarang ini PTM telah dilakukan secara terbatas di beberapa lokasi, baik PTM secara penuh maupun hybrid learning -- separuh tatap muka dan separuh kelas daring.
PTM disambut baik oleh banyak pihak, baik dari sisi institusi kampus, orang tua, dan mahasiswa. Terutama Kampus Vokasi yang menyelenggaran pendidikan dengan komposisi 30-70 (praktek-teori) mulai bergeliat. Euphoria perpindahan daring ke luring menyebar luas di kalangan orang tua dan mahasiswa, sebagai akibat dari kebosanan pembelajaran daring yang berlangsung melalui layar kaca (face-to-screen).Â
Yang sekarang perlu menjadi perhatian kita bersama adalah apakah dengan diberlakukannya kembali PTM akan membuat kreativitas dan inovasi terhenti? Apakah pola synchronous dan asynchronous learning akan ditiadakan? Apakah pembelajaran akan kembali ke pola konvensional seperti semula?
Hybrid Learning
Pembelajaran melalui hybrid / blended learning telah terbukti efektif dan efisien untuk meningkatkan hasil belajar dan minat belajar siswa, baik di level Sekolah Menengah maupun Perguruan Tinggi di kelas tatap muka (Egbert et al., 2015; Mulyadi et al., 2020). Model pembelajaran ini menggunakan sistem tatap muka dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai media pembelajaran di kelas. Media digital seperti Writeabout, Canva, SRS (Students Responses System) -- Google form &Socrative, dan gamified application -- Quizizz & Quizlet dapat menjadi alternatif.
Dengan perkembangan revolusi industri 4.0 dan e-learning 5.0 sekarang ini, pola pembelajaran ini disarankan dapat diterapkan di semua jenjang pendidikan (Pratiwi et al., 2021). Selain untuk memperkuat kemandirian belajar, juga dapat mendukung literasi digital peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa literasi digital merupakan salah satu kunci meraih masa depan di era globalisasi .
Dalam pelaksanaannya, hybrid learning membutuhkan dukungan fasilitas yang memadai seperti penyediaan komputer bagi pengajar dan peserta didik di kelas, LCD proyektor, dan jaringan internet yang stabil. Komputer bagi peserta didik dapat digantikan dengan gadget masing-masing siswa, meski dengan layar yang lebih kecil. Tentunya, hal ini akan menimbulkan permasalahan bagi institusi yang belum memiliki sarana dan prasarana yang lengkap.
Peran pemerintah dan stakeholders terkait sangat diperlukan dalam mendukung pemerataan sarana dan prasana untuk mewujudkan digitalisasi pembelajaran. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yang salah satu poinnya menyebutkan "mencerdaskan kehidupan bangsa". Bangsa Indonesia adalah seluruh warga negara dari Sabang sampai Merauke, tidak terkecuali dari kota hingga pelosok negeri.
Peran pengajar sebagai fasilitator pembelajaran juga menentukan kesuksesan digitalisasi pendidikan. Kompetensi digital pengajar harus ditingkatkan supaya tecipta literasi digital di kelas. Kurikulum dan rencana pengajaran juga harus didesain ulang sesuai konsep hybrid learning, bukan semata-mata konsep PTM konvensional dipindahkan ke media digital. Model pembelajaran synchronous dan asynchronous perlu diinversikan juga di dalam pelaksanaannya.