Bayangkan, buku pertama kali dia tulis tahun 1990 an, masih tersimpan rapi dan utuh. Termasuk proses dan dinamika yang terjadi pada dirinya saat hadirnya buku itu, tercatat dengan sangat rapi sekali.
Dalam buku yang baru saja diterbitkannya itu, semuanya disajikan dengan sangat apik. Detail tentang sejarah dan perjalanan dia dalam menerbitkan buku.
Lengkap yang di punyai Armaidi. Ya sebagai pembaca, pencatat dan penulis buku. Wartawan memang pencatat, tapi tidak semua wartawan sebagai penulis dan pembaca.
Armaidi, sedikit dari wartawan yang suka mencatat, hobi menulis, gemar membaca. Dia resah dan gelisah, ketika tidak ada buku yang dibacanya.
Makanya, ketika momen keluar daerah atau ke Jakarta, mencari buku termasuk bagian terpenting dalam perjalanannya itu.
Sebagai wartawan yang penulis, jelas Armaidi kaya dengan ide dan gagasan. Dengan gampang dia dipakai oleh hampir seluruh kekuatan sosial kemasyarakatan.
Baginya, beraktivitas di banyak organisasi tak menghalangi semangat untuk menulis. Mungkin pagi sehabis mengajar di kampus, dia memberikan materi pelatihan jurnalistik, siangnya dia harus pula rapat di DPD SatuPena Sumbar, dan malamnya mengurus Nahdlatul Ulama.
Ayah dua putra dan putri ini terus mencatat dan terus mendapatkan peluang untuk menghadirkan sebuah buku.
Dengan menulis untuk dijadikan buku, sesuatu yang kecil bisa jadi besar dan sesuatu yang tak berguna, setelah jadi buku akan sangat bermanfaat.
Wartawan banyak. Sangat banyak. Tapi yang wartawan penulis, apalagi menulis buku seperti Armaidi masih sedikit.
Yang sedikit itu, tersebutlah Yurnaldi, Khairul Jasmi, Basril Basyar, Eko Yance Edrie, dan wartawan lainnya.