Pakaian melambangkan hati dan jiwa seseorang. Begitu pula santri dengan pakaian sarungnya, mencerminkan kekokohan dan keteguhan pikirannya dalam menuntut ilmu.
Bayangkan, berlari pun mereka di halaman pesantren, tak bisa sarungnya lepas. Begitu kokoh dan kuat, karena memang dipelajari cara memakai sarung yang hebat dan kuat itu.
Bahkan, ada santri yang pakai sarung sambil melakukan olahraga sepak takraw. Tetap saja sarungnya kuat, tak lepas, dan mereka dengan tangkas menyambut dan mengembalikan bola takraw.
Sarung barangkali banyak melahirkan inspirasi. Para santri punya ide dan kreatifitas secara bebas, tetapi teratur dan diatur oleh kaji dan keilmuan yang mereka tuntut di pesantren.
Tak heran, ulama yang kokoh dengan sarungnya sering jadi rujukan oleh masyarakat. Tempat curhat soal susahnya kehidupan, tempat berbagi kisah politik kebangsaan yang sedang pasang surut.
Tuanku dan orang siak yang pakai sarung ini, nyaris tak pernah sepi dari tamu. Tamu pun harus menyiasati waktu, kapan waktunya tuanku itu bisa menerimanya.
Mau memulai ke sawah dan ladang, biasanya masyarakat minta hari yang baik ke tuanku. Anak dan anggota keluarga yang sedang sakit pun, tuanku tempat meminta bantuan pengobatannya.
Sebab, tak semua waktu yang disediakan oleh ulama itu untuk tamu. Ketika sedang mengajar, menghadapi santri dan murid, tak mau tuanku menerima tamu.
Sehabis Magrib sampai selesai Shalat Isya, itu banyak digunakan oleh tuanku dengan ibadah khusus. Dia tak bicara dengan siapa pun, kecuali lidahnya berzikir, membaca wiridan, dan tak bisa diganggu oleh tamu.
Paling tamu disuruh oleh santri menunggu sampai selesai tuanku mengaji. Sebab, majlis ilmu jauh lebih penting dari cerita dengan tamu yang belum jelas ujung pangkalnya.
Syekh Mato Aie, ulama terkenal dan punya banyak santri dulunya di Pakandangan. Dia terkenal juga sebagai tempat bersalang tenggang oleh masyarakat.