Ibarat menulis buku, Pak Tjipta tak pernah selesai untuk ditulis. Ibarat membalik lembaran buku, Pak Tjipta semakin asyik dan menyenangkan untuk dikaji.
Ada banyak kisah teladan yang bisa kita petik dari perjalanan hidup keluarga Pak Tjipta ini. Dia berbuat dan menikmati, setelah itu ditularkan pada banyak orang.
Sungguh pribadi yang kuat, tegar, teguh dalam pendirian. Kuncinya, usaha, doa dan bersyukur. Tiga hal ini melekat dan selalu jadi amalan khusus Pak Tjipta dan istrinya Roselina.
Saya memang baru dua kali bersua dengan pasangan suami-isteri kelahiran 1943 ini, tetapi terasa telah berulang kali, bahkan sangat terasa dekat.
Baru tiga buku karya tulis Ketua Asosiasi Reiki Seluruh Indonesia (ARSI) ini yang saya baca dan pelajari, tetapi terasa mendalam pengetahuan saya soal tokoh yang yang rajin menulis ini.
Tiga buku itu sudah saya baca, dan tamat saking enaknya dibaca. Berjudul; "The Power of Dream, Kekuatan Impian, Enlightenment Mencapai Pencerahan Diri, dan Aplikasi Reiki dalam Mencapai Tingkat Master".
Dari pengalaman panjang lewat karya tulis Pak Tjipta ini, saya teringat tokoh besar pemilik Kompas Jakob Oetama. Di tahun 2012, saya beli buku "80 tahun Jakob Oetama, Syukur Tiada Henti".
Buku itu membuat kita semakin tahu akan arti sebuah kehidupan. Pentingnya bersyukur dan berdoa untuk menyertai usaha yang kita jalani.
Saya memetik tiga hikmah dari karya dan amalam Pak Tjipta dalam hidup dan kehidupan ini. Yakni, usaha, doa dan syukur.
Dan demikian, tidak sekedar ditularkan oleh seorang Tjiptadinata Effendi. Tetapi langsung dipraktekkan dan dirasakan suka duka, resiko serta dampak positifnya.
Makanya, setiap konten dan tulisan Pak Tjipta selalu mengandung hikmah dan motivasi. Tulisannya tak berat untuk dibaca dan dipelajari, karena ditulis dengan landasan usaha, doa dan syukur.
Tiga hal itu mampu menghilangkan rasa sakit hati dan dendam pada orang lain. Selalu berpandangan positif, tak mudah untuk menyalahkan seseorang.
Dan dari tiga hal itu pula lahir semangat berbagi. Sering memberi, dan tak pernah berharap balasan dari pemberian itu.
Tinggi semangat silaturahmi. Silaturahmi tak memandang iman dan keyakinan. Semangat kemanusiaan jadi faktor utama dalam membangun hubungan baik antar sesama.
Lalu, setelah tiga buku itu saya tamatkan, pikiran saya pun menerawang. Saya pun teringat seorang KH Abdurrahman Wahid. Tokoh yang akrab dengan nama Gus Dur ini terkenal humanis.
Gus Dur, tokoh bangsa yang pernah jadi Presiden ini yang tahu adalah tokoh yang bisa memadukan menulis dengan membaca. Sama dengan Tjiptadinata Effendi. Semakin banyak mereka membaca, maka semakin banyak pula tulisannya keluar.
Kedua tokoh ini mampu membaca yang tersurat dan yang tersirat. Orang Minang bilang, "tahu dibayang kato sampai".
Begitu juga seorang Jakob Oetama. Pribadi yang sering menulis dan gemar membaca itu tak banyak dipunyai republik ini.
Dari kerendahan hati, senang berbagi itulah membuat Pak Tjipta laksana sebuah buku tak pernah selesai dibaca dan ditulis.
Bukunya best seller. Asyik dan kita dibawa larut dalam kajian itu. Itulah Tjiptadinata Effendi yang saya amati dari bukunya. Buku karyanya sendiri.
Semakin sering dan banyak menulis, pun bapak tiga orang putra dan putri ini semakin senang dan sejuk untuk ditulis.
Sama dengan Jakob Oetama, Gus Dur, Tjiptadinata Effendi tak akan pernah selesai untuk ditulis. Semakin asyik untuk ditulis dan dikaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H