Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Membudayakan Kembali Silek Tuo

1 September 2023   08:29 Diperbarui: 1 September 2023   08:34 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama penggiat silek usai Podcast Padang Pariaman bicara. (foto dok damanhuri)

Silek merupakan kesenian Minang yang perkembangannya akhir-akhir ini mulai meredup.

Adalah Metek Mili, Ketua Kelompok Silek di VII Koto lama. Namanya melambung tinggi karena dituakan dalam kelompok silek.

Dia sendiri tak banyak cakap, namun mahir dan pintar soal silek, langkah dan alur silek menjadi mainannya.

Kamis 30 Agustus, Metek Mili mengajak seorang tokoh silek VII Koto di Ampalu. Mak Itam akrabnya.

Dia ingin silek ini diviralkan di media. Hadirlah dia di Podcast Padang Pariaman bicara yang diadakan MCS di Pauh Kambar.

Supaya sejarah silek ini mendalam, pihak MCS mendatangkan Kamal Guci, budayawan yang cukup handal bicara silek ini.

Perguruan Silek Harimau Dahan Ampalu Tinggi, seperti cerita Metek Mili, adalah pusek jalo pumpunan ikan di VII Koto lama.

Metek Mili, sepertinya tokoh silek yang mirip dengan Ketua Umum IPSI Prabowo Subianto. Mirip wajah dan tampilan.

Mengenakan baju kaus yang sengaja dia buat mereknya "Japuik Tabao", sepertinya Metek Mili melambangkan komitmennya dalam mengembangkan dunia persilatan ini.

Sementara, Kamal Guci mengakui dan melihat silek mulai tergerus oleh globalisasi yang membanjir.

"Silek pagar adat, hulu ambek pagar syarak," kata Kamal Guci.

Kesenian ini sudah ada sebelum Syekh Burhanuddin. Silek juga lahir di surau.

Silek di tanah, hulu ambek di atas laga-laga. Dan setiap nagari atau ulayat punya kesenian ini.

Beda nama, tujuan sama. Kedepan, Kamal Guci berharap silek ini terus dikembangkan di sekolah-sekolah, sebagai penularan untuk generasi.

"Agar silek tuo ini tak punah oleh hempasan gelombang besar globalisasi, perlu upaya dari pemerintah," ujar dia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun