Empat orang beda profesi dan keilmuan berebut ingin duluan masuk surga. Keempat orang itu, adalah orang kaya pemurah, haji mabrur, syahid di medan perang dan seorang guru.
Dalam versi lain, guru itu dicontohkannya dengan seorang ulama. Keempat orang itu berlari setelah dipersilakan masuk surga oleh Tuhan.
Oleh malaikat penjaga surga, mereka ditahan di pintu, lalu ditanya masing-masing alasannya jadi orang pertama masuk surga.
"Kamu siapa dan kenapa harus nomor satu masuk surga," tanya malaikat.
"Saya orang kaya, malaikat. Kata guru dulu kalau orang kaya pertama masuk surga," jawabnya.
Lalu, haji mabrur setelah ditanya malaikat pun menjawab, bahwa alasannya masuk surga pertama setelah diberitahu guru, kalau haji mabrur itu pertama masuk surganya.
Begitu pula orang yang mati syahid di medan juang, juga menjawab karena disebut guru dulunya kalau yang gugur di medan juang perdana masuk surganya.
Karena tiga orang bilang faktor guru, malaikat pun melarang mereka duluan masuk surga.
"Muliakan dan hormati guru. Memuliakan guru ilmu jadi berkah. Nah, harus guru kalian yang duluan masuk surga," tegas malaikat, di tengah kebingungan mereka bertiga itu.
Semua yang kita nikmati hari ini, adalah berkah dari guru. Kedua orangtua adalah guru pertama kita. Baru setelah itu ada banyak guru.
Ada guru di pendidikan formal sejak dari TK hingga perguruan tinggi. Ada guru informal, yakni guru ngaji, guru les ini itu dan lainnya.
Karena guru, kita bisa seperti ini. Karena guru kita bisa menyusun kata-kata sehingga menjadi enak dibaca.
Guru ikhlas mengajar kita di sekolah. Mereka menanamkan cinta kasih dan nilai yang tidak bisa kita balas kebaikannya.
Hanya doa dan harapan yang bisa kita berikan. Semoga guru yang telah mendahului kita diberikan tempat dan posisi yang layak oleh Yang Maha Kuasa.
Dan guru yang masih hidup, semoga diberikan kekuatan dan kesehatan yang cukup, serta terus memberikan yang terbaik buat masa depan anak bangsa ini.
Guru dan sang inspirator
Bagi saya, guru adalah sumber inspirasi untuk bisa berkembang. Itu saya rasakan karena lama mondok.
Belajar di beberapa pesantren, dan ilmu yang diajarkan guru pesantren itu menjadi berkembang dengan sangat luar biasanya.
Padahal, berguru di pesantren itu hanya sebentar dengan seorang guru, lalu pindah ke guru lainnya.
Tapi, rasa dan nilai yang didapatkan tak bisa dibayangkan tinggi dan bermanfaatnya.
Mungkin ini yang disebut berkah guru. Guru pesantren itu ikhlas mengajar. Mereka tidak digaji, sehingga ilmunya jadi berkah
Cerita awal masuk pesantren itu, saat duduk di bangku kelas enam SD, Mahyuddin, seorang guru ngaji saya yang mencoba mengembangkan kajian kitab kuning dasar.
Ada beberapa kawan yang ikut mengaji itu. Tak lama sih. Kala itu Mahyuddin yang kami panggil Apuak berkebetulan pulang kampung dari Batusangkar.
Dia seorang santri. Pernah mengaji di Tapakis dan Padang Magek, Kabupaten Tanah Datar.
Kisah sebentar ngaji kitab itulah ayah saya mengantarkan saya mondok untuk kelanjutan sekolah saya setelah tamat sekolah dasar.
Mondok di Padang Magek, juga berguru dengan Apuak. Tapi tak lama juga. Apuak banyak kegiatan di luar pesantren, kami disuruh belajar dengan dua orang guru, Zamzami dan Ismael.
Lima tahun mondok di Pesantren Darul Ulum Padang Magek (1988-1993), saya bersua dengan banyak guru.
Mulai dari Apuak Mahyuddin, H. Kakan, Zamzami, Ismael, Iskandar, Anwar, M. Jalil dan guru lainnya, terutama masyarakat lingkungan pesantren itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H