Sesuatu yang sangat luar biasa, ketika momen Hari Santri Nasional dicanangkan, dan sejak itu terus diperingati setiap tahun, dengan tema yang beragam pula, sesuai situasi dan kondisi tentunya.
Santri adalah orang yang sedang mendalami pendidikan agama Islam secara mondok. Makanya, santri itu milik pesantren.
Artian luas, santri termasuk juga alumni pesantren, guru pesantren, dan orang yang berhubungan dengan santri itu sendiri, juga disebut sebagai santri.
Berdaya menjaga martabat kemanusiaan. Itulah tema hari santri tahun ini, yang sudah dicanangkan beberapa waktu lalu. Hari santri ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober.
Ini mengacu pada momen resolusi jihad dicanangkan KH Hasyim Asy'ari dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajah.
22 Oktober 1945, penjajah ingin kembali menancapkan kakinya di bumi pertiwi ini. Dan ulama besar, pendiri NU KH Hasyim Asy'ari bersama ulama di Jawa dan Madura mengeluarkan maklumat resolusi jihad.
Nah, ini tentunya cuplikan sekilas tentang latar belakang hari santri itu sendiri. Yang ingin saya katakan, adalah bagaimana santri hari ini mengejewantahkan pesan moral tertulis resolusi jihad tersebut.
Santri, termasuk juga para senior dan guru atau mahasantri, harus melihat ini dalam arti luas. Ya, menulis. Setidaknya, momen hari santri ini ada buku sejarah ulama di lingkungan santri itu sendiri yang diedarkan.
Ini, penting mengingat soal keintelektualan santri itu sendiri. Ya, para ulama dulu, khusus di Jawa telah mampu membuat sesuatu, sehingga hari ini dijadikan sebagai rujukan dalam ketetapan sejarah hari santri nasional.
Khusus di Minangkabau, adalah daerah yang kaya akan ulama dan intelektual Islam, yang awalnya adalah santri dulunya.
Nah, ini penting kita kembangkan, Deni untuk kelangsungan garis perjuangan ulama itu sendiri.
Sekedar menyebut nama. Para ulama di Padang Pariaman yang cukup gigih berjuang dalam menyebarkan ilmu di tengah negara ini masih bayi, atau belum merdeka.
Kita mungkin dapat cerita kontroversi seorang Tuanku Shaliah, yang banyak melahirkan kebijakan yang di luar nalar orang biasa.
Ulama saufi ini patut kita tulis, karena banyak cerita dari mulut ke mulut dari orang yang pernah bersentuhan dengan dua dulunya.
Begitu juga cerita dia menghormati kawannya yang ulama, dalam soal mandi di sungai. Dia tidak mau mandi di atas, karena menurut mata hatinya ada ulama yang sedang mandi pula di bagian bawahnya.
Ini kisah antara Tuanku Shaliah dengan Tuanku Bagindo Lubuak Pua. Tuanku Shaliah di Sungai Sariak, bagian atas Lubuak Pua, sama-sama menjadikan Sungai Batang Mangoi untuk tempat mandi dalam keseharian.
Bagi Tuanku Shaliah, kalau diteruskan mandi terasa kurang adab namanya. Begitu dia menjaga adab sesama ulama, pewaris para nabi tentunya.
Belum lagi cerita lainnya, yang sangat banyak. Termasuk cerita fotonya yang dipajang di hampir setiap rumah makan Padang di luar daerah Sumbar, ini juga cerita yang sangat beragam menurut penuturan pemilik kedai nasi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H