Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Zikir dan Doa Bersama 13 Tahun Gempa 2009, Memecah Kesunyian Lubuk Laweh

1 Oktober 2022   12:23 Diperbarui: 1 Oktober 2022   12:32 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zikir dan doa bersama di komplek tugu gempa Lubuk Laweh. (foto dok damanhuri)

Puluhan masyarakat Lubuk Laweh menggelar zikir dan doa bersama, Jumat (30/9/2022). Dipimpin seorang alim ulama, zikir mengenang 13 tahun gempa besar 2009 itu, dihadiri Wabup Padang Pariaman Rahmang.

Zikir dilakukan di komplek tugu gempa. Bagi masyarakat Lubuk Laweh, gempa 2009 adalah sejarah kelam. Bencana paling besar sepanjang sejarah tentunya.

Ratusan nyawa melayang akibat gempa yang disertai longsor yang terjadi Rabu 30 September 2009 petang.

Banyak korban yang tidak bisa lagi ditemukan, akhirnya dibuat kuburan masal. Bekas timbunan longsong itu dijadikan tempat kuburan banyak orang.

Jumat petang kemarin, tepat 13 tahun peristiwa naas itu menimpa masyarakat. Lubuk Laweh dan Tandikek secara umum tak pernah henti memperingati kejadian itu.

Wabup Rahmang foto bersama di depan tugu gempa Lubuk Laweh. (foto dok damanhuri)
Wabup Rahmang foto bersama di depan tugu gempa Lubuk Laweh. (foto dok damanhuri)

Sungguh luar biasa. Kalimat thaibah berkumandang, zikir bersama mewarnai kesunyian Lubuk Laweh petang sehabis Jumat itu.

Kampung yang terletak di lembah yang di kelilingi bukit dan Gunuang Tigo itu jadi sunyi dan sepi sejak peristiwa 13 tahun tersebut.

Hanya desauan air sungai yang mengalir deras, yang disertai tingkah nyanyian burung berkicau, sehingga zikir dan doa bersama terasa khusuk dan khidmat.

Tunggu gempa yang dibangun sejak setahun pascagempa, masih tegak kokoh. Meskipun cat warna tugu yang tidak tinggi mulai hilang karena acap kena hujan panas, tetap menjadi ingatan yang luar biasa.

Bangunan permanen itu mengingatkan kesedihan dan keprihatinan. Setidaknya, ketika melihat tunggu gempa itu terselip doa, agar korban longsor syahid di alam sana.

Mesibah. Apa pun jenisnya, jelas terjadi di luar nalar manusia. Tuhan berbuat sekehendakNya. Usaha dan ikhtiar untuk keselamatan dari musibah, wajib hukumnya dilakukan.

Zikir dan doa tentu bertujuan untuk memperkuat tauhid dan keyakinan, bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini adalah kehendakNya.

Pascagempa, saya sempat beberapa kali datang ke Pulau Aie, kampung sebelum Lubuk Laweh. Menemani LSM dan lembaga donor yang memberi bantuan ke kampung itu.

Waktu itu Lubuk Laweh masih susah untuk didatangi. Umumnya, para kelompok masyarakat yang memberi bantuan sampai Pulau Aie. Di situ ada posko peduli gempa dan longsong yang didirikan oleh masyarakat setempat. 

Nah, dari Pulau Aie itulah banyak bantuan logistik dan lainnya didistribusikan ke Lubuk Laweh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun