Belajar di pesantren atau sekolah berasrama melahirkan semangat sosial dan kemandirian. Dan secara tidak langsung, kemandirian dan sosial itu dipelajari sambil berpraktek sekalian di pesantren.
Contoh, dalam menggaya, santri tak perlu pergi keluar berpangkas rambut. Di pesantren setiap generasi itu ada saja santri yang pandai keterampilan itu.
Sepuluh tahun saya mondok di dua pesantren, di daerah yang berbeda, sangat terasa sekali rasa sosial kemasyarakatan tersebut.
Tak kita yang ingin berpangkas misalnya, oleh santri senior yang pandai memangkas itu disodorkan jasanya untuk memangkas rambut kita yang dilihatnya sudah mulai panjang.
Ya, tak ada pula standarnya. Dalam waktu luang itu bisa dia menyelesaikan dua kepala santri yang mau berpangkas.
Kadang, dalam hari-hari biasa tak ada yang berpangkas. Modalnya, cukup sebuah gunting, sisir dan kaca kecil.
Tak ada kursi, di sebuah bongkahan batu sambil duduk, berpangkas itu jadi juga. Begitu rasa kebersamaan tertanam, ketika santri sekolah jauh dari orangtuanya.
Lalu, menolong panen atau bertanam padi di sawah orangtua santri, juga menjadi tradisi di kalangan santri.
Umpamanya, santri A sedang panen padi di kampungnya. Diajaknya sejumlah kawan untuk ikut membantu. Tak pakai upah, tapi rasa sosial kemasyarakatan kaum santri.
Malah aksi spontan, dan tidak terkesan main julo-juloan. Sebab, tak pula mengharuskan santri A itu akan ikut kerja bakti di rumah atau lahan pertanian santri lain yang pernah menolongnya dulu.