Begitu pun terhadap lahan pertanian guru atau pimpinan pondok kalau ada. Umumnya, seluruh santri turun ke sawah. Tentu diluar jam pelajaran.
Dan itu, tidak disuruh guru. Melainkan santri senior atau pengurus pesantren yang mengasih tahu, kalau hari ini ke sawah menyabit padi Buya yang sedang panen.
Umpan baliknya, santri senior ini pun memberi kabar ke keluarga Buya, bahwa besok akan ikut banyak santri ke sawah.
Otomatis, makanan dan minuman disediakan dengan apa adanya oleh keluarga Buya tersebut.
Dan budaya gotong royong termasuk materi pelajaran yang tidak dipopulerkan, tetapi dilaksanakan secara berkesinambungan.
Untuk membangun sebuah asrama, karena santri kian banyak, pesantren tak perlu minta tenaga tukang. Cukup dengan kerja bakti, sambilan oleh santri yang banyak, dan bangunan itu selesai.
Begitu implementasi dari ajaran shalat berjemaah tiap waktu yang diwajibkan bagi seluruh santri. Tertanam jiwa sosial dan kebersamaan, yang kelak menjadi modal yang kuat untuk melahirkan pemimpin di tengah masyarakat.
KH Abdurrahman Wahid yang populer dengan sebutan Gus Dur menyebutkan kalau pesantren itu subkultur.
Artinya, bagian dari kultur masyarakat itu sendiri. Kultur gotong royong, alek baik berimbauan alek buruk berhambauan.
Ketika ada pesta pernikahan di lingkungan santri dan masyarakat sekitar pesantren, cukup diberitahu. Dengan sendirinya pesta itu ramai didatangi masyarakat dan santri tersebut.
Kalau alek buruk semisal kematian, cukup dapat kabar dari orang ke orang atau lewat pengeras suara di madjid, masyarakat dan santri pun berhamburan datang.