Pesantren sebagai sekolah yang berasrama boleh kita sebut dekat dengan masyarakat lingkungannya. Bahkan, sejak lembaga pendidikan keagamaan itu hadir di tengah masyarakat, langsung berkomitmen sebagai miliknya masyarakat.
Sehingga kegiatan sosial kemasyarakatan di pesantren itu, selalu ada dan terlibat masyarakat. Begitu cara ulama dan guru dalam membangun dunia pendidikan berasrama.
Lima tahun saya menuntut ilmu di Pesantren Darul Ulum Padang Magek, Kabupaten Tanah Datar, sangat terasa sekali hubungan emosional yang kuat antara pesantren dan masyarakat.
Masyarakat setempat malah merasakan rasa merantau pula ketika ikut jadi santri ketika malam hari. Ikut semua kegiatan, terutama malam, dan sampai pula tinggal di asrama.
Dalam pelajaran muhadarah, santri anak kampung ini tak mau tidak diikutkan. Mereka minta diberlakukan sama dengan santri, meskipun mengajinya hanya di malam hari.
Mengaji pagi, siang mereka tak bisa ikut lantaran masih sekolah di sekolah umum. Dan di Padang Magek kondisi demikian terbangun dengan sangat baik, ikut dinamika santri, ketika ada musyawarah pemilihan organisasi santri.
Musim liburan panjang, waktu tahun 1990 an itu bulan puasa liburan panjang. Umumnya santri pulang kampung. Namun, sebagian ada yang memilih tinggal dan beribadah di pesantren.
Enaknya mengisi waktu liburan di pesantren itu, kita tak perlu memikirkan makan berbuka dan sahur. Semua rumah masyarakat itu bergantian menyediakan menu buka puasa dan santap sahur.
Kita tak tahu cara masyarakat mengatur waktunya. Yang jelas, besok mau sahur, sudah dikasih tahu bahwa sahur di rumah Amak itu.
Lalu, buka puasa di rumah lain lagi. Begitu seterusnya. Seluruh santri dan guru yang tinggal di pesantren selama Ramadhan tak diperkenankan memasak oleh masyarakat.