Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Tugu Perjuangan Rakyat Lubuk Pandan dan Terbunuhnya Letnan De Haas

16 Agustus 2022   18:08 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:02 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu perjuangan rakyat Lubuk Pandan itu. (foto dok afferisi.blogspot.com)

Perang mempertahan kemerdekaan (1945-1950), punya cerita tersendiri di tengah masyarakat tertentu.

Memang, kemerdekaan sudah diproklamir 17 Agustus 1945. Namun, hingga lima tahun ke muka pertempuran antara rakyat pribumi dengan penjajah Belanda terus berlangsung.

Seperti di Sintuak, Kabupaten Padang Pariaman yang terkenal dengan peristiwa heroik Surau Batu. Ini korbannya banyak dari rakyat kampung itu sendiri, yang dinilai oleh Belanda sebagai pengacau keamanan.

Peristiwa ini pun erat kaitannya dengan kejadian di Lubuk Pandan, Jumat 19 Desember 1949, sejam sebelum Shalat Jumat.

Walinagari Lubuk Pandan yang zaman itu masih disebut sebagai Wali Perang, M. Zen Datuak Panduko Sinaro, dan seorang pejuang nagari Buyuang Kaliang gugur secara menggenaskan.

Tembakan pasukan Belanda tepat sasaran, kedua tokoh ini bersimbah darah, setelah Buyuang Kaliang menusukan pisaunya ke tubuh komandan pasukan Belanda yang sedang patroli, Letnan De Haas.

Letnan ini seketika wafat dalam keadaan berdarah-darah, akibat tusukan pisau pejuang Buyuang Kaliang. Buntutnya, Buyuang Kaliang pun wafat di ujung tembakan anak buang Letnan De Haas ini.

Dan memang Buyuang Kaliang dan M. Zen Datuak Panduko Sinaro adalah dua dari 17 target Belanda yang akan diamankan hari itu, karena dinilai ikut merusak dan mengacau suasana dalam kampung.

Buyuang Kaliang pun mau shalat Jumat di Masjid Raya Lubuk Pandan, menyempatkan membawa sebilah pisau. Tajam karena diasah sebelum dibawa. 

Pisau dibawa dan terendap dalam baju. Orang banyak tak tahu, kalau Buyuang Kaliang hari itu membawa pisau tajam.

Pasukan Belanda dari arah Lubuk Alung berpatroli tiba di Lubuk Pandan pas sejam jelang masyarakat muslim melakukan ibadah wajib mingguan.

Letnan De Haas langsung turun dari mobilnya, dan memerintahkan orang yang dilihatnya untuk duduk semua di kedai dekat masjid itu.

Banyak yang patuh dan langsung duduk tentunya atas perintah Letnan itu. Tapi Buyuang Kaliang tak mau duduk. Dia berdiri saja, dan tak bersuara menyahut apa yang diperintahkan komandan pasukan Belanda tersebut.

Sang komandan berang. Wajahnya merah melihat orang yang tak mau diperintahnya. Dia hampiri Buyuang Kaliang yang sedang tegak, dan Buyuang Kaliang pun dengan sigapnya mengeluarkan pisau dari balik bajunya.

Pisau langsung bersarang di tubuh Letnan, dan komandan pasukan Belanda itu tak berkutik. Lunglai dan rebah seketika. Pisau masih di tangan Buyuang Kaliang, bedil anak buah Letnan menyalak seketika, dan dua tokoh utama Lubuk Pandan, M. Zen Datuak Panduko Sinaro dan Buyuang Kaliang wafat secara syahid.

Mereka telah berjuang menyelamatkan masyarakat dari ancaman kekejaman penjajah, yang membuat mereka kehilangan nyawa secara tragis.

Orang banyak terpana, dan tentunya ada yang memilih lari dan menyembunyikan diri. Selesai itu, jenazah Letnan ini diangkut ke Padang oleh anak buahnya. 

Sedangkan jenazah Buyuang Kaliang dan Walinagari Lubuk Pandan dimakamkan di nagari itu.

Masyarakat Lubuk Pandan tentunya punya sejarah tersendiri dalam soal perang mempertahan kemerdekaan. Mereka sebagiannya syahid di balik tembakan pasukan Belanda setelah melakukan perlawanan.

Untuk mengenang peristiwa heroik ini, sebuah tugu dibuat di halaman masjid, di bagian depannya.

Pas di pinggir Sungai Batang Ulakan, sebuah tugu tegak dengan gagahnya. Puncak tugu sebuah tangan yang sedang memegang pisau, menggambarkan kekuatan Buyuang Kaliang dalam membunuh komandan pasukan Belanda yang sedang berpatroli.

Boleh kita sebut tunggu itu sebagai tugu perjuangan. Oleh nagari, tugu itu tetap dirawat dari masa ke masa. Setiap momen 17 Agustus dan hari besar lainnya, selalu tugu itu dipercantik.

Artinya, masyarakat masih menyimpan sejarah heroik nagarinya dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini dari kaum penjajah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun