Pasukan Belanda dari arah Lubuk Alung berpatroli tiba di Lubuk Pandan pas sejam jelang masyarakat muslim melakukan ibadah wajib mingguan.
Letnan De Haas langsung turun dari mobilnya, dan memerintahkan orang yang dilihatnya untuk duduk semua di kedai dekat masjid itu.
Banyak yang patuh dan langsung duduk tentunya atas perintah Letnan itu. Tapi Buyuang Kaliang tak mau duduk. Dia berdiri saja, dan tak bersuara menyahut apa yang diperintahkan komandan pasukan Belanda tersebut.
Sang komandan berang. Wajahnya merah melihat orang yang tak mau diperintahnya. Dia hampiri Buyuang Kaliang yang sedang tegak, dan Buyuang Kaliang pun dengan sigapnya mengeluarkan pisau dari balik bajunya.
Pisau langsung bersarang di tubuh Letnan, dan komandan pasukan Belanda itu tak berkutik. Lunglai dan rebah seketika. Pisau masih di tangan Buyuang Kaliang, bedil anak buah Letnan menyalak seketika, dan dua tokoh utama Lubuk Pandan, M. Zen Datuak Panduko Sinaro dan Buyuang Kaliang wafat secara syahid.
Mereka telah berjuang menyelamatkan masyarakat dari ancaman kekejaman penjajah, yang membuat mereka kehilangan nyawa secara tragis.
Orang banyak terpana, dan tentunya ada yang memilih lari dan menyembunyikan diri. Selesai itu, jenazah Letnan ini diangkut ke Padang oleh anak buahnya.
Sedangkan jenazah Buyuang Kaliang dan Walinagari Lubuk Pandan dimakamkan di nagari itu.
Masyarakat Lubuk Pandan tentunya punya sejarah tersendiri dalam soal perang mempertahan kemerdekaan. Mereka sebagiannya syahid di balik tembakan pasukan Belanda setelah melakukan perlawanan.
Untuk mengenang peristiwa heroik ini, sebuah tugu dibuat di halaman masjid, di bagian depannya.
Pas di pinggir Sungai Batang Ulakan, sebuah tugu tegak dengan gagahnya. Puncak tugu sebuah tangan yang sedang memegang pisau, menggambarkan kekuatan Buyuang Kaliang dalam membunuh komandan pasukan Belanda yang sedang berpatroli.