Sejarah perjuangan masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan, sangat penting dan patut di kembangkan lewat buku. Apalagi perjuangan mempertahankan rentang waktu 1945-1950, tak kalah hebat dari cerita pada saat masa perang melawan penjajah.
Dan sejarah itu tak sama di seluruh daerah. Sesuai kultur dan situasi yang terjadi di daerah itu sendiri.
Tahun 2006 silam, saya ikut dalam tim penulisan buku sejarah perjuangan rakyat Padang Pariaman dalam mempertahankan kemerdekaan RI rentang 1945-1950.
Beruntung, Pemkab Padang Pariaman melalui Dinas Sosial kala itu mau meluncurkan program buat buku tersebut, sehingga saat buku itu hadir menjadi sumber ilmu tersendiri oleh guru sejarah di lingkungan sekolah yang ada di daerah itu.
Sayang, program itu sekali itu dilakukan Pemkab daerah itu, sehingga banyak cerita dan kisah heroik yang belum terangkum dalam buku yang sangat terbatas itu.
Sebenarnya saya berharap, dinas itu bisa membuat program itu tiap tahun, dan tentu bisa sejarah itu ditulis lengkap.
Dalam buku setebal 300 an halaman itu baru memuat kisah pensiunan tentara yang berjuang dan ikut angkat senjata saat agresi Belanda kedua tersebut.
Kisah ulama mengelola pendidikan di tengah masih berkecamuknya perang, sama sekali belum dimuat. Begitu juga kisah pengusaha, kisah petani yang kadang bisa ke sawah, kadang harus berkurang dalam lobang tahanan.
Begitu juga kisah walinagari atau kepala desa yang zaman itu merangkap dengan wali perang di wilayah kekuasaannya.
Hanya kisah seorang mantan Walinagari Anduriang yang sempat juga jadi wali perang di nagarinya.
Ceritanya cukup menarik. Adanya dapur umum, dan masyarakat terutama kaum perempuan bahu membahu memasak nasi untuk tentara dan rakyat yang berjuang di Medan perang, mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Kita tahu, tanpa adanya dapur umum tentara ini susah makannya. Tentu peran kaum perempuan nagari itu sangat dirasakan oleh pejuang.
Cerita seorang niniak mamak yang berpihak ke penjajah tentu tak banyak kami temukan. Padalah zaman perang sangat banyak tokoh adat yang ikut mendukung pergerakan kaum penjajah tersebut.
Namun, yang membuat pribadi saya senang dan sedikit banggga, buku itu diberi kata pengantar oleh Prof. Mestika Zed, seorang sejarawan terkenal di Sumbar.
Ke depan, selaku orang aktif di dunia tulis menulis saya berharap sejarah Padang Pariaman ini bisa dilanjutkan. Apalagi momen ulang tahun selalu dilakukan setiap tahunnya oleh Pemkab Padang Pariaman.
Momen ini sangat patut dilahirkan karya tulis yang berbau sejarah. Setidaknya sejarah kepemimpinan bupati yang sedang menjabat.
Sebab, yang namanya sejarah itu tak akan pernah sempurna. Kesempurnaan sejarah itu terletak semakin banyak diperdebatkan, dan semakin terus ditulis.
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa pun ada orang dan tokohnya. Nah, ini yang perlu kita perluas dalam membangun daerah dan nagari tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H