Ceritanya cukup menarik. Adanya dapur umum, dan masyarakat terutama kaum perempuan bahu membahu memasak nasi untuk tentara dan rakyat yang berjuang di Medan perang, mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Kita tahu, tanpa adanya dapur umum tentara ini susah makannya. Tentu peran kaum perempuan nagari itu sangat dirasakan oleh pejuang.
Cerita seorang niniak mamak yang berpihak ke penjajah tentu tak banyak kami temukan. Padalah zaman perang sangat banyak tokoh adat yang ikut mendukung pergerakan kaum penjajah tersebut.
Namun, yang membuat pribadi saya senang dan sedikit banggga, buku itu diberi kata pengantar oleh Prof. Mestika Zed, seorang sejarawan terkenal di Sumbar.
Ke depan, selaku orang aktif di dunia tulis menulis saya berharap sejarah Padang Pariaman ini bisa dilanjutkan. Apalagi momen ulang tahun selalu dilakukan setiap tahunnya oleh Pemkab Padang Pariaman.
Momen ini sangat patut dilahirkan karya tulis yang berbau sejarah. Setidaknya sejarah kepemimpinan bupati yang sedang menjabat.
Sebab, yang namanya sejarah itu tak akan pernah sempurna. Kesempurnaan sejarah itu terletak semakin banyak diperdebatkan, dan semakin terus ditulis.
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa pun ada orang dan tokohnya. Nah, ini yang perlu kita perluas dalam membangun daerah dan nagari tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H