Berebut dapat salaman pertama dengan khatib saat shalat hari raya, menjadi kepuasan tersendiri.
"Siapa dapat salam pertama tadi," begitu cerita di kedai usai shalat Ied. Dan yang mendapatkan pertama bersalaman itu jadi viral sendiri.
Lama jadi cerita masyarakat di kampung itu. Terutama di perkampungan Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, yang saya rasakan ketika masih aktif di kampung.
Ya, di surau, karena di kampung itu masjid tak dipakai untuk hari raya. Untuk shalat Ied, masyarakat lebih memilih shalat di surau.
Rata-rata, khutbahnya pakai bahasa Arab, yang khatibnya berdiri pakai tongkat. Saat khatib membaca "takabbal sya'yuhum" para jemaah berhamburan, dan ingin nomor satu bersalaman dengan sang khatib.
Hebatnya, yang selalu dapat salam nomor satu itu "orang siak" pula. Artinya, orang yang mengetahui akan makna khutbah yang dibaca khatib tentunya.
Jarang dan nyaris tak ada orang umum kebanyakan yang dapat salam perdana itu.
Dia pegang tangan khatib agak sedikit lama, dan membuat antrian panjang pun terlihat dari semaraknya pelaksanaan shalat Ied tersebut.
Menurut cerita orang yang sering dapat salaman pertama itu, fadhilahnya sama dengan bersalaman dengan nabi.
"Kata hakikatkan bahwa yang membaca khutbah itu adalah Nabi Muhammad Saw di tengah umatnya yang banyak.
Dan memang, khatib membaca khutbah itu lengkap pernak-pernik pakaiannya. Pakai jubah, salameri yang membungkus kepalanya yang sudah pakai peci.
Bacaan pasih, pakai irama sesuai dengan yang dibacanya. Banyak memberikan nasehat dan pelajaran yang berhubungan dengan merayakan hari raya itu sendiri
Diadakannya shalat Ied di surau milik kaum di VII Koto Sungai Sariak, adalah bagian dari upaya kaum itu sendiri untuk membangun silaturahmi serta melanjutkan pembangunan surau yang sedang terbengkalai.
Beruntunglah surau itu bila orang rantau pada pulang kampung, dan saat itu terkumpul uang yang banyak.
Cerita dapat salam pertama pun jadi cerita yang meluas. Diangkut ke rantau oleh yang pulang kampung tentunya.
Hingga saat ini, boleh disebut dapat salam pertama itu semacam tradisi bagi masyarakat kampung ini.
Antusiasnya sangat tinggi. Mereka tak ingin nomor dua atau nomor paling besar. Makanya, sejak awal khatib membaca khutbah, dia dengan seksama menyimak apa yang dibaca khatib tersebut.
Dia tak ingin terlewat satu huruf pun dari menyimak uraian khatib lewat bahasa yang tak banyak di ketahui jemaah.
Dan detik-detik terakhir khatib membaca khutbah yang kedua itu, terasa suasana yang mencekam. Hening. Yang terdengar hanya khatib yang berkhutbah.
Pas bacaannya, hampir semua jemaah pada berdiri, berkejar karena jarak khatib dengan jemaah agak sedikit jauh di mihrab surau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H