Tentunya ini sebuah pemahaman masyarakat yang selalu maju dan berkembang, sesuai situasi dan kondisi. Apalagi Idul Adha adalah shalat sunnat, yang tata tertibnya masih banyak diperdebatkan.
Dan memang Islam itu penuh dengan perbedaan. Hampir semua ibadah wajib dan sunnat para ulama dulu yang jadi referensi saat ini mengalami perbedaan. Perbedaan jadi rahmat. Bukan menjadi malapetaka di tengah masyarakat.
Terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan ritual tahunan ini, paling tidak menuntut masyarakat untuk terus belajar dan belajar.
Ya, belajar agama, mendalami seluk-beluk agama yang menjadi pakaian sehari-hari. Tak heran, para ulama dulu mengaji ke banyak guru dan ulama, mendatangi perguruan dari dalam hingga luar negeri.
Lewat perbedaan ini, masyarakat Padang Pariaman semakin untuh dan kuat. Itu seharusnya yang terjadi. Bukan masyarakat yang semaunya, beragama tidak mengikuti dasar yang kuat.
Yalah, kalau persoalan adat dan kebiasaan di tengah masyarakat. Tak masalah. Sepeti peringatan maulid dengan sistem ceramah agama dan dengan sistem ritual "badikie".
Atau masalah peringatan kematian dengan yasinan majelis taklim atau dengan mengaji pakai "orang siak" dari pertama hingga seratus hari wafat.
Tak masalah bercampur. Tapi soal ibadah wajib dan sunnat, sebaiknya kita kaji dan gali ilmunya. Sebab, beramal mesti dengan ilmu.
Di sini letak pentingnya menuntut ilmu bagi seluruh umat muslim. Anjuran nabi menuntut ilmu itu dari hayunan sampai liang lahat.
Artinya, kematianlah yang menyebabkan seseorang itu berhenti menuntut ilmu. Selagi hidup, masih tertonggok kewajiban mencari ilmu pengetahuan.
Hikmah dari perbedaan ini, masyarakat Padang Pariaman telah dewasa. Tak adalagi kelompok yang satu menyalahkan kelompok yang lain.