Puluhan hektar sawah masyarakat petani di Sintuak digenaingi banjir setiap musim hujan, sepertinya tidak lagi jadi berita aneh dan mengejutkan.
Luapan Sungai Batang Tapakih itu sudah menjadi tradisi bentuknya oleh masyarakat, terutama bagi pemilik lahan sawah tersebut.
Musim hujan dan luapan air sungai itu juga tak berketentuan. Kadang akhir tahun. Kadang dalam sebulan bisa dua kali banjir memunahkan sawah yang baru saja ditanami padi.
Sama juga pandangan demikian bagi pemilik sejumlah rumah di dekat jembatan Toboh Baru. Air masuk ke dalam rumah akibat imbas luapan Sungai Batang Tapakih, sudah biasa.
"Jadi, lahan sawah di sini tak bisa dipatok apa tiga kali atau dua kali setahun musim tanamnya," cerita petani di sana.
Sebagai pemilik lahan, petani itu banyak sabar. Apa yang bisa dilakukannya untuk antisipasi luapan sungai suatu ketika, ya itulah yang dilakukannya.
Hanya pematang sawah ini yang selalu di tinggikan pada saat akan menanam padi. Tapi, itu pun acap gagak, karena ikut dibawa oleh deras air saat musimnya tiba.
Sungai Batang Tapakih sepertinya tak sepi dari cerita. Cerita memunahkan lahan pertanian, merendam Puskesmas, sejumlah rumah masyarakat dan sarana umum lainnya, tak pernah hilang.
Meskipun pemerintah telah melakukan upaya dengan memperbesar dan memperdalam aliran sungai itu di bagian paling bawahnya, yakni di Tapakis, namun belum mampu meminimalisir kerusakan lahan sawah masyarakat di bagian atasnya, yakni di Sintuak.
Sungai ini kecil. Airnya selalu keruh,badan banyak melahirkan cerita suka duka masyarakat di zaman perang dulunya.