Dan jejak itu masih terkesan seperti itu adanya. Konon, cerita pemilik warung di Simun itu, kedainya ini jati tempat peristirahatan dan perpisahan antara kuda beban dan mobil.
Dan kita kalau mau ke Maek pun seperti harus berhenti di Simun. Ya, sambil mendinginkan mesin motor, lantaran habis menempuh medan yang cukup berat.
Ada gerengan, sekalian minuman hangat dan dingin. Sebab, dari Simun ke Maek kita banyak menurun. Malah ada turunan yang cukup terjal, dan tentunya butuh kehati-hatian.
Setelah sekian kali bertanya, akhirnya sebelum waktu Zuhur masuk, kami sampai di komplek Menhir Koto Tinggi. Sepi tak ada orang yang bersua di situ.
Ada surau kecil di bagian sudut di ujung baratnya, tapi tak terurus. Lapangan yang luas itulah berserak batu dalam berbagai ukuran, yang disebut juga Menhir.
Bobby, begitu Burhanis Arfan disapa banyak orang menilai inilah kampung tertua itu.
Penyuka barang antik ini juga banyak menemukan bukti, betapa peradaban manusia di Maek ini jauh sebelum Masehi.
Namun, apa yang dia sampaikan tentu perlu perdebatan. Banyak bukti menyebutkan demikian, tak terlepas dari pelaku sejarah itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H