"Salamaik ghayo, maaf lahie batin," ujar Ajo Zai sambil menyodorkan tangan ke Uda Amir.
Mereka bertemu di tengah masyarakat kampungnya membagikan daging yang sudah dionggok untuk dibagikan kepada anggota masyarakat.
Biasa, dan itu lazim bagi rang Piaman. Logatnya menyebut rayo itu familiar dengan ghayo.
Tentu sebuah ungkapan yang lebih akrab, dan menandakan kedekatan yang amat sangat diantara kedua orang itu.
Begitu juga ke yang lainnya, Ajo Zai juga menyaminya dengan bahasa yang sama. Sebab, di tengah pembagian daging itu ada banyak orang yang hadir.
Ajo Zai, meskipun lama dan menetap di kampung orang, tidak pernah lupa dengan bahasa kampungnya sendiri.
Baginya, susah pula meng-Indonesiakan-kan bahasa yang sudah akrab sejak dia kecil itu.
Terasa janggal, bila dia bicara dengan bahasa Indonesia, dan malah jadi olokan banyak orang di kampungnya.
"Bagha balanjo rang kadai," ujar Ajo Zai usai duduk sambil minum di warung kopi di dekat pembagian daging tadi.
Ajo Zai menyerah pemilik warung menghitung semua belanja, dari seluruh orang yang duduk di warung saat itu.