"Baa Kampuang Pili, kami mulai lai," kata tuka dikie indang dari Padang Baru, misalnya.
Begitu tinggi tatakrama dan budaya sopan santun diajarkan dalam budaya kesenian indang.
Oleh penyanyi Minang legendaris, Tiar Ramon indang ini dimodifikasi dengan irama yang khas, tanpa menghilangkan nada indang itu sendiri.
"Ikolah indang, oi Sungai Garinggiang. Kami baindang ganti baganti, nantikan kami sampai parak siang".
Begitu kira-kira nyanyian komunikasi yang bagus, dan ajak yang baik dari satu grup terhadap grup lainnya.
Kadang dalam indang berjalan, bahasa sindirian dengan lugasnya, terasa menampar grup lain, yang tiba gilirannya, juga tak kalah pula balasannya.
Berbalas pantunlah namanya. Indang, sering diadakan dalam suatu hajatan. Misalnya, saat pengangkatan pangulu di tengah kaum.
Atau nagari itu benar yang mengadakan di laga-laga, dengan mengundang grup kampung lain untuk tampil di kampung itu.
Adat indang laksana "julo-julo", ya bergantian. Helat tahun ini anak indang kampung kita acap pergi ke kampung lain untuk berindang, suatuvsaat nanti pun kita harus berani mengundang grup indang luar untuk menguji nyali di kampung kita.
Makanya, di setiap korong atau dusun selalu ada laga-laga, bangunan adat tempat mainan anak nagari.
Rangkaian indang, banyak diawali dengan silek, luambek, buru babi, serta kadang ada pula di akhir acara dengan menghadirkan musik modern, orgen tunggal.