Ancaman dan teror, umpatan, rasa kurang puas yang ditumpahkan narasumber ke wartawan yang menulis berita, adalah vitamin untuk menambah semangat kerja.
Sebagai pekerja kontrol sosial di tengah masyarakat, saya sering dan acap menerima ancaman dari narasumber yang merasa kecewa dari berita yang terbit dan beredar luas.
Bahkan, ancaman hukum dan akan dibunuh, Alhamdulillah tak membuat nyali dan integritas saya ciut.
Adalah seorang komisioner KPU di daerah saya yang diduga menghamili seorang wanita di kampungnya.
Beritanya jadi headline di Singgalang, dengan judul yang cukup unik dan menarik.
Coblosan anggota KPU berbuntut panjang. Itu judulnya. Pas berita keluar, yang bersangkutan langsung menelpon saya, dengan nada ancaman.
Sebelumnya, saya menghubungi dia sebagai berita cek. Memperlakukan narasumber sebagai praduga tak bersalah.
Konfirmasi lengkap, dan keluh kesah korban yang merasa diitukan juga panjang lebar ceritanya.
Tak cukup telpon, SMS dia ke saya pun bertubi-tubi. "Kemana pun kau lari akan saya kejar. Saya bunuh kamu," tulis dia di SMS.
Faktanya, dia tak pernah membunuh dan memperkarakan berita itu, ketika bersua dan berhadapan dengan dia. Sekarang yang bersangkutan jadi seorang walinagari di kampungnya.
Saya tetap tak memutus hubungan. Tetap komunikasi dan bertegur sapa dengan dia. Acap pula ketemu pasca berita itu terbit.
Kejadian tahun 2010 itu, membuat beritanya viral. Portal belum banyak, komunikasi antar komisioner KPU di Sumbar pun saling bersileweran lewat telpon.
Masih di tahun itu, saya juga menerima ancaman dari ibu-ibu yang merasa tidak terima atas pemberitaan yang berhubungan dengan bantuan untuk korban gempa 2009.
Menamakan kelompoknya "Kandang Rasul", saya dapat penugasan dari Pemred untuk menelusuri ini, karena banyak masukan, lantaran kelompok ini memungut uang masyarakat dengan iming-iming bantuan gempa.
Saya cari dan hubungi perempuan pengurus kelompok itu. Tak bersua, tapi hubungan lewat telpon masuk, dan kami saling berkomunikasi dengan sangat mantapnya.
Sebelum ke ibu rumah tangga itu, saya sudah dapat cerita dari masyarakat dan walinagari, tentang keresahan kelompok ini.
Tinggal konfirmasi ke ibu itu, dan lengkap lalu saya kirim naskah beritanya ke redaksi. Karena ini orderan Pemred, berita ditarok di halaman satu.
Pas berita itu terbit, ibu yang saya telpon kemarinnya terkesan menyuruh perempuan lain, kesannya atasannya menghubungi saya.
Lunak dan lembut, dan lama akhirnya membentak saya atas berita itu. Beradu argumen cukup lama dan panjang lewat sambungan telpon, dengan tetap dia bersikeras kalau kelompoknya tak meresahkan masyarakat.
Saya suruh dia membuat hak jawab, dia tak mengerti, katanya. Ya, sudah. Kalau berita tak boleh saya mencabutnya, karena konfirmasinya cukup.
Tak ada yang dirugikan. Semua yang berkepentingan saya beri kesempatan untuk bicara, mempertahankan argumennya.
Akhirnya, kelompok itu hilang begitu saja. Hiruk-pikuk gempa masih terdengar kuat, tapi kelompok itu terkesan hilang dan mungkin membubarkan diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI