Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bermula dari Rajin Membaca, Kecanduan Menulis Meningkat

9 Februari 2022   14:29 Diperbarui: 15 Februari 2022   09:18 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terinspirasi dari man jadda wa jadda, siapa yang bersungguh pasti mendapat, ternyata benar adanya.

Suka dan rajin membaca ketika sekolah di pesantren, keinginan untuk jadi penulis dan wartawan pun menyumbul dalam benak dan pikiran saya.

Kemudian, suka membuat catatan harian dalam agenda juga kegemaran saya saat mondok di Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan.

Setiap momen dan perjalanan suka duka dalam keseharian, tertulis. Tapi tak banyak orang lain yang tahu, lantaran tulisan tangan saya jelek, dan susah dibaca orang lain.

Keinginan untuk menulis di media pun terus menggelora. Awal reformasi, tahun 1999, Pak Amiruddin bergabung dengan SKM Padang Pos.

Dia menjadi Kepala Perwakilan koran mingguan itu di Padang Pariaman. Punya tanggungjawab untuk mencari berita dan menyebarkan koran.

Edisi ketiga koran itu terbit, Pak Amiruddin yang adik ayah saya ini datang ke rumah orangtua saya, melihat saya yang dia dapat kabar sedang sakit.

Waktu dia datang, saya mulai agak mendingan peningkatan kondisi badan yang cukup lama sakit yang ditidurkan.

Pak Amiruddin langsung menawarkan ke saya untuk mengantar koran ke pelanggan sekali sepekan, tepatnya tiap Jumat.

Saya sanggupi, dan mulailah saya jadi loper koran itu di Padang Pariaman. Ada ratusan pelanggan awal sebagai modal untuk pengembangan koran itu.

Tiap pekan pelanggan bertambah, sehingga pengantaran pun jadi dua hari, Jumat dan Sabtu.

Di tengah kesibukan itulah, saya memulai keinginan saya untuk menulis. Sebuah opini yang saya tulis dengan mesin tik, lalu saya kasihkan ke Pak Amiruddin, dan dia bawa ke redaksi.

Lama dan sering menulis opini, perlahan nama saya mulai diketahui orang redaksi. Rapat kerja redaksi di Sungai Limau, Pemimpin Perusahaan Padang Pos, Fadril Aziz Isnaini Infai menyapa saya.

Rupanya mendiang Infai ini membaca tulisan saya yang terbit di ruang opini Padang Pos.

"Damanhuri, coba berita buat lagi. Caranya gampang. Contoh tempat wisata pantai ini, lalu diskusi dengan pengelolanya," ujar Infai menunjukkan pertama kali cara membuat berita.

Saya coba. Ada sebuah temuan menarik di tempat saya tinggal, Padang Toboh Ulakan. Mahasiswa KKN melakukan jejak pendapat tentang penting atau tidaknya sebuah masjid di kampung itu.

Hasilnya, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya masjid di Padang Toboh, sehubungan jauhnya jarak ke Kampung Koto, tempat masjid nagari berdiri.

Namun, keinginan itu tak dapat persetujuan dari Ketua KAN Ulakan, sekaligus penguasa ulayat, sehingga perdebatan panjang mewarnai dinamika di tengah masyarakat.

Saya telusuri, menemui tokoh masyarakat sekaligus mahasiswa yang sedang ber KKN di kampung itu, lalu saya konfirmasi ke Ketua KAN yang tak menyetujui pembangunan masjid tersebut.

Saya ketik di surau, tempat saya mengabdi dengan meminjam mesin tik Desa Padang Toboh.

Hasil ketikan panjang, lalu saya berikan ke Pak Amiruddin. Dia tiap minggu pula ke redaksi Padang Pos di Ulakarang, Padang.

Jumat-nya berita itu terbit, dan headline di halam dalam yang cukup menyita pembaca, sekaligus mampu mendokrak laju penjualan koran itu di Pauh Kambar.

Berita itu menjadi bahan diskusi menarik setelah terbit. Hampir seluruh masyarakat sering menemui saya untuk sekedar diskusi dan berlanjut dengan pembahasan yang banyak persoalan.

Secara bertahap, persoalan demi persoalan mencuat. Masyarakat selalu bertemu saya, dan selanjutnya jadi sebuah berita.

Padang Pos mulai terseok-seok terbitnya. Bertemu dengan Armaidi Tanjung yang sudah kenal di Padang Pos. Dia mengajak saya bergabung dengan Harian Semangat Demokrasi yang terbit tiga kali sepekan.

Masukan lamaran. Pun di koran ini, Infai yang jadi Pemred-nya. Tak begitu lama, lama, Infai yang dimotori Asli Khaidir menerbitkan Mingguan Media Nusantara.

Berkantor di GOR Agus Salim, untuk Pariaman saya dan Netti Hermawati yang jadi perwakilan.

Tentu di koran baru ini, saya ikut dari proses perdana. Hanya saja media ini tak begitu lama. Dari Media Nusantara, Infai merubah menjadi Media Sumbar.

Saya masih tetap gabung, dan langsung jadi Kepala Perwakilan di Pariaman.

Media Sumbar lebih mengajarkan nilai-nilai kebersamaan. Ada sama di makan, tak punya sama dicari.

Lengkap status sosial yang disandang personil yang sering berjumpa di Terandam III Padang itu. 

Mulai dari induk semang yang bergelar Rajo Imbang. Infai sudah malang melintang di dunia pers. Pernah jadi Wakil Ketua bidang Organisasi di PWI Sumbar.

Lecut tangan membuat bejibun kader wartawan yang lahir dari gemblengannya. Dia juga salah seorang pencetus lahirnya PWI di Kota Bukittinggi.

Saya sering membuat berita di redaksi. Datang dari daerah, tentu sekalian belajar banyak dari seorang wartawan hebat dan idealis. 

Sementara, Yusfik Helmi Datuk Yang Sati, Ali Nurdin, disapa buya oleh senior dan yunior di redaksi.

Ada Pak Bagindo, seorang tukang foto yang masuk redaksi. Hasil bidikannya tak kalah dengan wartawan muda. Pak Bagindo sudah tua, tapi masih eksis naik Vespa dari Pariaman ke Padang.

Sayang, Media Sumbar nasibnya hampir sama dengan media yang didirikan Infai sebelumnya.

Orang Minang bilang, hidup segan mati tak pula mau. Artinya, sesuai situasi keuangan koran, semakin lama semakin tak sanggup membiayai operasionalnya.

Dengan kondisi itu, saya pun ditawari sebuah Tabloid Mingguan. Publik namanya. Pemiliknya juga wartawan senior, yang sempat jadi anggota dewan Sumbar.

AA Datuk Rajo Djohan namanya. Ketika datang ke redaksi sambil membawa surat lamaran, Pak Datuk ini langsung menerima saya, lantaran dia tahu kalau saya hasil didikan Infai.

Sempat dua tahun jadi perwakilan Publik di Pariaman, 2005-2007, akhirnya seorang kawan yang saya kenal di Padang Pos, Gusnaldi Saman mengajak saya masuk Singgalang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun