Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangunan Pesantren Madrasatul 'Ulum yang Ramah Gempa

8 Februari 2022   14:31 Diperbarui: 8 Februari 2022   14:48 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lahan yang sempit itu, tampak kekuatan dan kekokohan bangunan gedung yang terdiri dari asrama berlantai dua, surau besar juga berlantai dua.

Lalu, di bagian belakang berdiri pula asrama berlantai dua. Semuanya bangunan permanen, dan punya coran penyanggah kekuatan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan itu.

Semua bangunan permanen itu adalah pengganti surau dan asrama yang dulunya terbuat dari kayu. Perkembangan, bangunan kayu diganti dengan yang lebih kokoh.

Gempa 2009 yang melanda Ranah Minang, ikut merusak bangunan pesantren yang berdiri 1940 ini. Meskipun tak rusak berat, pengurus berkesimpulan untuk menukar dengan bangunan permanen.

Perjalan waktu, banyak dinamika dan cerita suka dan duka hadir di pesantren yang terletak di pinggir Sungai Batang Ulakan tersebut.

Datang dan pergi bagaikan silih berganti, tak menyurutkan minat masyarakat untuk mengantarkan anaknya untuk mengaji di pesantren berbasis surau itu.

Selesai di sana ada yang lanjut ke perguruan tinggi, ada pula yang diminta mengelola pendidikan masyarakat lewat sebuah surau kampung.

Sementara, tiap tahun ada yang datang untuk memulai perjalanan menuntut ilmu agama, lewat pesantren.

Mereka datang dari kampung yang terbilang jauh. Seperti dari Dharmasraya, daerah yang berbatasan dengan Jambi.

Ada pula santrinya dari Sijunjung, Tanah Datar, Agam dan sejumlah daerah lainnya. 

Mereka pada umunya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Di ajarkan hidup sederhana dan disiplin ibadah, membuat santri itu matang dalam penjiwaan.

Buya H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, Buya Iskandar Tuanku Mudo, Buya Marzuki Tuanku Nan Basa, Buya Buchari Rauf rasanya berhasil meletakkan pondasi dasar untuk masa depan pesantren itu.

Berkembang secara dinamis, karena para mendiang buya-buya itu tak mengajarkan satu arah tujuan akhir dari pendidikan pesantren.

Santri dididik juga sekalian untuk jadi tenaga pendidik. Namun, perkembangan tak pula semua lulusan pesantren ini yang terjun ke dunia mengajar di pesantren.

Yang jadi pedagang, berbisnis, serta jadi tokoh masyarakat juga tak sedikit dari alumni pesantren ini.

Begitu juga yang terjun ke dunia politik, pun ada di pesantren ini. Tentu ini ketularan dari dua tokoh Madrasatul 'Ulum yang berhasil di politik.

Yakni, Buya Iskandar Tuanku Mudo yang pernah jadi anggota DPRD Padang Pariaman dari Golkar periode 1992-1997.

Buya Buchari Rauf yang ikut di DPRD Padang Pariaman dan Sumbar dari PPP. Kedua tokoh ini ikut mewarnai perjalanan pesantren.

Baik dari segi sarana prasarana, maupun dari segi belajar mengajar. Memang Buya Buchari Rauf tak pernah mengajar, tetapi pembangunan pesantren, banyak dari kontribusinya.

Kalau Buya Iskandar Tuanku Mudo memang ikut mendampingi Buya Abdullah Aminuddin mengajar di Lubuk Pandan.

Tentu bangunan yang cukup mewah untuk kelas pesantren surau dijadikan sebagai tolak ukur untuk kemajuan di masa depan.

Hanya satu hal yang belum berubah di pesantren. Para santrinya masih memasak dengan duku api. Sepertinya belum mau berpindah ke gas, yang umum dipakai banyak orang saat ini.

Tak heran, di tengah buncahnya suara mengaji di masing-masing ruangan lokal, asap dari dapur samping bangunan utama pun mengepul.

Mereka masak bergantian tiap pagi dan petang. Beras untuk ditanak dikumpulkan sekali sepekan di satu titik pengumpul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun