Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bermodalkan Agama yang Kuat, Mampu Jadi Relawan Hebat

7 Februari 2022   09:19 Diperbarui: 7 Februari 2022   09:22 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerjaan relawan punya dampak yang amat luar biasa dalam pematangan jiwa dan pikiran.

Relawan, ya kerja yang tidak ada jaminan upah yang bisa diharapkan dari kerja itu. Kunci sukses masuk relawan, adalah terbiasa dengan sosial kemasyarakatan.

Bila tak punya modal sosial yang tinggi, jangan coba masuk relawan. Akan rusak hati dan pikiran. Mendingan menganggur, daripada ribut dan sakit hati dalam bekerja.

Hampir semua institusi non pemerintah, punya unit relawan. Ya relawan bencana, relawan pekerja sosial masyarakat dan lainnya.

Termasuk bekerja di media massa, sebenarnya cocok dengan sebutan pekerja relawan. Karena tak ada jaminan gaji atau upah dari perusahaan.

Kalau pun ada, cuma sebagai hitungan yang diperhitungkan dengan uang perusahaan dari hasil pariwara yang didapatkan di lapangan.

Ketika pimpinan menyebut, di lapangan wartawan dan pewarta dapat uang. Benar adanya. Tapi itu tak melulu. Malah banyak tidaknya dari adanya.

Anehnya, pewarta tak ada yang menyebut sebagai relawan. Mereka lebih bangga dengan sebutan profesional, meskipun di lapangan profesional itu dinamis.

Untung saya masuk jadi pewarta punya modal sosial yang amat tinggi. Berangkat dari pesantren sebagai santri dan pengajar yang ikhlas menjalaninya.

Mengajar di pesantren, harus punya niat yang tulus dan ikhlas. Tak ada honor dan gaji. Ini di pesantren berbasis surau.

Namun, tak pula guru tidak makan karena tidak digaji. Tuhan punya cara tersendiri memberikan yang terbaik buat hambaNya yang jujur dan ikhlas beramal.

Doktrin ikhlas itu benar yang matang oleh kaum sarungan. Bahkan, pesantren baginya bukan ladang tempat usaha. Melainkan untuk pengabdian.

Usaha, yang bertani dan berladang. Umumnya ulama kampung, sumber kehidupannya banyak dari bertani.

Mengajar adalah tugas utama. Tak bergaji, tapi mampu melahirkan orang hebat dan jadi di tengah masyarakat.

Bagi guru pesantren, pintar anak asuhannya, adalah kepuasan batin tersendiri. Ada rasa bangga dan senang, tatkala melihat hasil didikannya berhasil jadi di tengah masyarakat.

Pergeseran nilai dan hantaman digitalisasi yang begitu dahsyat, membuat pesantren yang semacam ini kian ke pinggir.

Persentasi jumlah santrinya tiap tahun tak begitu signifikan. Kalau pun ada santri baru tiap tahun, jumlahnya tak banyak, seperti pesantren yang terkesan sudah merambah ke dunia industri.

Kunci pesantren berbasis surau itu, hanya disiplin shalat jemaah, dan matang dalam keilmuan kitab kuning.

Ada santrinya ikut lomba, tak begitu diapresiasi. Sebab, itu urusan dunia. Tak begitu penting.

Yang paling penting pandai mengaji, hebat ibadah, itu sudah berhasil.

Orang-orang lulusan pesantren inilah yang mampu dan mantap masuk relawan setelah dari persembunyiannya yang panjang di pesantren.

Di dunia relawan, mereka menemui jati dirinya, bekerja yang sungguh, dan mampu menghadirkan ide yang bagus.

Mereka menerima apa adanya. Kepuasannya terletak pada apresiasi masyarakat terhadap kerjanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun