Namun, tak pula guru tidak makan karena tidak digaji. Tuhan punya cara tersendiri memberikan yang terbaik buat hambaNya yang jujur dan ikhlas beramal.
Doktrin ikhlas itu benar yang matang oleh kaum sarungan. Bahkan, pesantren baginya bukan ladang tempat usaha. Melainkan untuk pengabdian.
Usaha, yang bertani dan berladang. Umumnya ulama kampung, sumber kehidupannya banyak dari bertani.
Mengajar adalah tugas utama. Tak bergaji, tapi mampu melahirkan orang hebat dan jadi di tengah masyarakat.
Bagi guru pesantren, pintar anak asuhannya, adalah kepuasan batin tersendiri. Ada rasa bangga dan senang, tatkala melihat hasil didikannya berhasil jadi di tengah masyarakat.
Pergeseran nilai dan hantaman digitalisasi yang begitu dahsyat, membuat pesantren yang semacam ini kian ke pinggir.
Persentasi jumlah santrinya tiap tahun tak begitu signifikan. Kalau pun ada santri baru tiap tahun, jumlahnya tak banyak, seperti pesantren yang terkesan sudah merambah ke dunia industri.
Kunci pesantren berbasis surau itu, hanya disiplin shalat jemaah, dan matang dalam keilmuan kitab kuning.
Ada santrinya ikut lomba, tak begitu diapresiasi. Sebab, itu urusan dunia. Tak begitu penting.
Yang paling penting pandai mengaji, hebat ibadah, itu sudah berhasil.
Orang-orang lulusan pesantren inilah yang mampu dan mantap masuk relawan setelah dari persembunyiannya yang panjang di pesantren.