Ada semacam kerinduan yang terpancar di wajah Fatimah Khairannisa yang imut, saat dimulainya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolahnya. Siswa kelas tujuh MTsN 2 Padang Pariaman ini, tampak semangat sekali bangun pagi, bila dibandingkan dengan situasi pada saat pembelajaran dari rumah.
Sering dan acap dia membangunkan saya Subuh-Subuh. Biasanya tak pernah. Malah dia yang keenakkan tidur pagi. Dan bahkan Fatimah paling susah untuk dibangunkan pagi-pagi itu. Kalaupun dibangunkan, dia terkesan berang dan marah. Namun, sejak PTM di sekolahnya, dia paling duluan bangunnya.
Menyiapkan segala sesuatunya untuk sekolah. Termasuk sejak malam, segala keperluan sekolah sudah mulai disiapkan. Baju seragam ditarok di tempat yang mudah mengambilnya. Buku tulis dan buku pelajaran pun tersusun dalam tasnya yang gagah. Sudah Subuh, tinggal menunggu nasi masak yang tengah di tanak oleh ibunya, untuk persediaan selama di sekolah.
Tentu, melihat semangat anak yang demikian gigih dan optimis meraih impian lewat pendidikan menengah pertama berbasis agama ini, saya selaku orangtuanya merasa tersanjung dan bersemangat pula untuk mengantarnya pagi-pagi ke sekolah.
Hampir tiap pagi saya mengantar. Kadang ibunya. Pulangnya dia naik bus jurusan Pariaman - Padang, yang juga banyak ditumpangi oleh kawan dan kakak kelasnya. Sedikit jauh dari rumahnya di Sintuak, sekolahnya terletak di Pauh Kambar, Kecamatan Nan Sabaris.
Fatimah yang lahir 14 September 2008 ini masuk di sekolah itu lewat jalur prestasi. Tak heran, di sekolah dia di tempatkan di lokal unggul. Dia masuk sekolah dibawah naungan Kementerian Agama Kabupaten Padang Pariaman itu punya modal hafiz Quran yang cukup untuk bersaing masuk sekolah tersebut.
Dan lagi, MTsN 2 Padang Pariaman ini adalah pilihan Fatimah sendiri. Orangtuanya menawarkan setelah tamat SD itu masuk pesantren atau MTsN Sintuak, yang tak jauh dari rumah.
Mungkin karena pilihan sendiri, tampak sekali semangat juangnya yang tinggi. Dia tak ingin ketinggalan setiap kali momen di sekolah tersebut. Sebab, tiap pagi ada momen khusus yang berlaku tiap pagi. Ada muhadarah, ada murajaah, dan ada shalat berjemaah, serta banyak lagi momen yang harus dia ikuti tiap pagi sebelum masuk lokal.
Pertama kali anjuran vaksin covid di sekolahnya, Fatimah terkesan tak mau. Kami kedua orangtuanya sudah vaksin, dia masih enggan. Lalu, masa vaksin berikutnya dia kuat dan berani, lantaran ada semacam "ancaman" dari sekolah. Bahkan, saking beraninya, dia pula yang selesai vaksin kedua ketimbang ibunya sendiri.
"Kata ibu guru, kalau tak vaksin, tak boleh PTM," ujar dia menjelaskan ke orangtuanya saat ada surat untuk himbauan vaksin dari sekolah yang harus diteken orangtua.
Saat terima rapor beberapa hari lalu, Fatimah tidak begitu berprestasi. Dan tampak dari wajahnya sedikit kalah dari teman barunya. Tapi, dia pun berujar kalau teman yang selalu juara satu sejak kelas satu hingga kelas enam SD, tiba di MTsN itu keok, bahkan nomor urut 32 dari 32 siswa selokalnya.
Dari raut wajahnya tersirat ingin mengejar ketertinggalannya. Sepertinya, dia ingin mengulang prestasi gemilang yang pernah dia raih semasa SD dulu.
Evaluasinya, pembelajaran daring yang diberlakukan beberapa waktu lamanya, membuat dia kewalahan. Mulai dari persoalan kuota internet yang susah, sampai kepada persoalan bangun pagi yang susah dikendalikannya pada saat belajar daring.
Jadi, PTM ini mengandung banyak efek yang dirasakan Fatimah. Ya, Subuh tepat waktu, malam cepat tidur, belajar teratur. Meskipun sudah dua kali vaksin, aturan protokol kesehatan yang dianjurkan sekolahnya, tetap jadi prioritasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H