Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perkara Pendidikan Seksual Harus Berjenjang Naik Bertangga Turun

16 Desember 2021   17:51 Diperbarui: 16 Desember 2021   18:08 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistim kajian yang dilakukan pesantren berbasis surau, yang memakai istilah berjenjang naik bertangga turun patut diacungi jempol. Terutama kajian fiqh yang akan dipakai dalam keseharian.

Fiqh mengajarkan kepada peserta didiknya, pertama itu adalah soal thaharah atau bersuci dari hadas dan najis. Semua yang menyangkut dengan kesucian diri, alat untuk menyucikan, sampai kepada tatacara bersuci itu sendiri diajarkan kepada anak yang baru masuk pesantren.

Tak mudah memang. Untuk satu perkara ini memakan waktu yang cukup panjang. Dengan konsep demikian, setelah santri itu beranjak remaja, dia dengan sendirinya mengamalkan kajian yang sudah didapatkannya selama mendalami ilmu bersuci tersebut.

Dia akan selalu berhati-hati dan telaten dalam melakukan perkara bersuci. Dia tahu, kalau kencing tak bersuci karena ketiadaan air, ada solusi lainnya yang membuat dia tetap suci dari najis yang baru keluar.

Begitu juga ketika bagian tubuhnya tersentuh oleh binatang yang namanya anjing dan babi, dia tahu harus disucikan dengan membasuh tujuh kali berturut-turut, satu kali dari yang tujuh itu harus dibasuh pakai tanah.

Teori, memang itu teorinya. Tetapi belajar di pesantren berbasis surau ada prakteknya sekalian. Tentu sangat beda hal dengan belajar di sekolah dan bangku pendidikan formal lainnya, yang banyak berteori, dan tidak ada praktek sama sekali.

Di pesantren langsung praktek. Misalnya, masuk waktu shalat, para santri bergegas ke tempat berwuduk. Ya, mengambil wuduk sekalian bersuci, karena menjelang shalat wajib hukumnya bersuci.

Kadang-kadang, santri baru ini selalu dalam pantauan santri senior ketika melakukan wuduk tersebut. Maklum, mereka baru yang sama sekali tak ada pondasi dasar sebelum masuk pesantren.

Gurunya, atau santri senior dengan telaten menunjukkan kalau cara yang dilakukan santri baru itu salah, dan harus diperbaiki, sesuai kajian fiqh yang baru saja dipelajarinya.

Matan Taqrib nama kajian fiqhnya, mengikuti cara Imam Syafi'i, salah satu imam yang empat yang diakui kajiannya di seluruh dunia pesantren, dan termasuk Mazhab terbesar dalam ikutan amaliah umat Islam di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun