Keberpihakan Gus Dur kepada kaum minoritas, kelompo yang termarjinalisasi tak diragukan lagi. Di tengah puncaknya banyak orang berang ke Pak Harto, Gus Dur tanpa beban bersafari keliling pesantren dengan Mbak Tutut, putrinya Pak Harto.
Membicarakan Gus Dur, orang dengan cepat ingat NU. Begitu sebaliknya. Saat NU disebut, nama Gus Dur tak bisa hilang.
Begitu Gus Dur membangun NU dulunya. NU besar, namanya pun melambung tinggi. Tak mudah memang jadi seorang Gus Dur.
Baginya, NU jauh lebih penting dari segala-galanya. Tak silau dengan kemewahan, dan merasa rendah tatkala kesusahan menghinggapi dirinya.
Tak heran, saat dia wafat banyak orang meneteskan air mata duka dan merasa kehilangan. Sampai-sampai makamnya tak pernah sepi dari pengunjung.
15 tahun jadi nakhoda NU, Gus Dur berhasil meletakkan pondasi dasar keorganisasian. Pun kembali khittah yang ikut digagasnya bersama sejumlah ulama NU sebelum jadi Ketua Umum, jadi barometernya dalam menjalankan roda organisasi sebesar ini.
Muktamar NU yang ke-34 di Lampung, 23-25 Desember ini, agaknya perlu kembali menguatkan organisasi ini kembali ke khittahnya. Bergerak di bidang amaliah dan sosial kemasyarakatan.
Soal politik kebangsaan NU, belakangan ini sedikit tergerus, dan perlu jadi catatan untuk dipecahkan persama dalam forum muktamar.
Kenapa tergerus. Banyak orang menilai, NU itu terlalu PKB. Memang betul, PKB itu dilahirkan dari rahim PBNU. Meskipun secara nyata, PKB tak ada dalam AD/ART NU, tapi dari pergerakan yang dilakukan selama 10 tahun terakhir, terkesan PKB badan otonomnya NU.
Kemudian, dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, NU terkesan tidak atau belum memposisikan dirinya sebagai organisai keagamaan.
NU seolah-olah dan terkesan ikut masuk istana. Tak ada kritikan dalam berbagai kebijakan yang dilakukan Jokowi dan Ma'ruf Amin.