Membaca guru dan membincangnya, laksana membalik lembaran buku yang tak pernah tamat. Sakit dan kecewa pasti ada, tetapi itulah cara guru memberikan nilai pada anak didiknya.
Tentu cara itu tak pula semua guru yang melakukannya. Beda guru, beda pula karakternya. Sama dengan murid yang juga beda antara yang satu dengan murid lainnya.
Guru, mulai dari orangtua sendiri. Orangtua yang menanamkan rasa. Ya, rasa apa saja. Rasa lapar, rasa sakit dan lainnya, orangtua yang paling utama dan pertama menyentuhkan ini dalam hidup dan kehidupan.
Saya merasakan orang yang paling beruntung dilahirkan dari sosok seorang ibu yang menanamkan kemandirian sejak kecil. Saya bukan anak manja. Pergi sekolah harus mengangkut jualan.
Jualan yang langsung ibu yang membuatnya. Dari uang hasil jualan itu saya bisa jajan di sekolah. Mulai dari kelas dua SD, saya diajar mengangkut dagangan keliling kampung jelang masuk kelas.
Ya, makanan. Itu tiap hari saya lakukan. Oleh ibu dikasih persentasenya, agar tumbuh motivasi dan keinginan senang melakukan jualan itu.
Sampai tamat SD, jualan pagi jelang masuk kelas itu rutin saya lakukan. Sekarang, kemandirian hidup itu tertanam kuat dalam diri. Menerima apa adanya, dan tak mudah tercelup ke pengaruh dunia.
Pulang sekolah, tak ada waktu untuk main. Makan, lanjut ke persoalan ternak. Gembala sapi sambil mencari rumput makanan sapi.
Ada banyak sapi yang saya gembalakan berdua dengan kakak saya. Sapi itu mulanya seekor, dengan bagi hasil sama kakak ibu, yang pergi merantau meninggalkan kampung halaman.
Sapi berkembang, tiap masa pertumbuhan dan perkembangannya luar biasa. Sampai-sampai rumah permanen terbuat dari hasil sapi jatah ibu, setelah dibagi dengan kakaknya.