Begitu juga orang siak pandai dikie, juga saling bepergian, berslang sling dari kampung yang satu ke kampung yang lainnya.
12 Rabiul Awal, lazimnya maulid di masjid. Juga disebut istilahnya dengan "manduobaleh", karena tepat pada tanggal kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Sementara di surau, baru setelah itu. Ada tiga bulan lamanya masa peringatan kelahiran junjungan umat Islam sedunia itu. Piaman boleh disebut sebagai "rantau dengan seribu surau". Banyak surau di daerah ini.
Mulai dari surau milik korong, kaum hingga pada surau milik pribadi yang dibangun oleh orang berada atau perantau sukses.
Bedanya, masing-masing surau itu merayakan maulid dengan caranya sendiri. Ada yang rutin tiap tahun, dan banyak pula yang sekali semusim. Artinya, bisa jadi sebuah surau bertahun-tahun tak melakukan maulid dengan malamang dan badikie.
Seperti surau yang kita temui di VII Koto Sungai Sariak misalnya. Di situ kadang ada sampai lima tahun tak melakukan maulid besar-besaran. Mungkin saja karena mahal dan tingginya biaya maulid dengan malamang dan badikie tersebut.
Oleh masyarakat, maulid dengan malamang dan badikie juga bagian dari giliran alias julo-julo. Hari ini kita di turut orang, tahun depan tentu kita pula menurut alek orang.
Itu bahasa kegotong royongan yang familiar di Piaman, sebagai daerah asal agama Islam di Ranah Minang melalui Syekh Burhanuddin dulunya.
Intinya, maulid dengan malamang dan badikie yang kabarnya dimulai sejak Syekh Burhanuddin mengembangkan agama dulunya itu, adalah cara nagari dan korong mencari uang untuk pembangunan masjid dan surau.
Sebab, yang namanya pembangunan masjid dan surau tak akan pernah selesai. Sudah bangunan yang satu, timbul ide dan rencana untuk membuat ruangan ini dan itu.
Yang tak kalah penting, maulid dengan malamang dan badikie adalah ajang silaturahmi masyarakat, menjada lisan dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang dalam agama dan tradisi.