Dulu, tiap sebentar telepon ini berbunyi. Banyak yang menghubungi. Maklum, sedang memegang jabatan di lingkungan pemerintah daerah. Dan itu tentu wajar pula, dan memang seharusnya begitu.
Kini, dan sejak lepas jabatan alias pensiun, tak lagi ada yang menelepon. Tentu sebuah perubahan siklus, dan kondisi antara sedang bertugas dan pensiun.
Cerita lepas pagi tadi, sambil menikmati segelas teh telor di sebuah kedai kopi di Balah Hilir, Lubuk Alung dengan mantan pejabat yang sudah setahun lebih pensiun dari ASN.
Sebut saja namanya Pak Budi. Terakhir dia eselon dua di Pemkab Padang Pariaman. Dari dulu, dia memang suka duduk dan ngopi di kedai. Terlihat dia masih enjoy, dan sangat menikmati pensiun.
Tampilannya yang selalu necis belum berubah. Masih seperti yang dulu ketika sedang menjabat. Bahkan, tampat lebih muda. Ada resep tersendiri yang dipakainya, sehingga dia terus terlihat rapi.
Mungkin sudah lama akrap, tampak Pak Budi pagi itu lepas sekali bercerita, menyebut segala suka dukanya, termasuk cerita partisipasinya membantu calon kepala daerah saat Pilkada 2015 lalu.
Pak Budi sempat buka usaha rumah makan di Kota Padang. Tapi tak lama. Kedai disewanya dua tahun, hanya setahun pakai dia suruh orang lain melanjutkan.
Namanya saat menjabat dulu cukup harum, dan tempat bergantung induk semangnya. Ketika induk semangnya berurusan dengan uang, sepertinya Pak Budi jadi solusi tersendiri.
Dan Pak Budi menyebutnya seperti itu. Dia pun mengakui, saat menjabat itu menjadi uang jutaan rupiah dalam sehari itu tak sulit. Mudah, dan sangat gampang sekali. Apalagi dia mengelola proyek nasional, yang nilainya berbanding jauh dengan kegiatan yang dananya dari daerah.
Mungkin dengan itu pula, ketika induk semangnya butuh uang, dia selalu ada jalan dan solusi. Pak Budi, sama dengan kebanyakan tokoh Padang Pariaman, suka dan senang menghabiskan waktu di lapau.
Pagi, siang, malam kalau mencarinya, temuilah di lapau kopi. Kalau tak ada di lapau, mungkin dia di Poltekpel Sumbar di Tiram, karena dia juga mengajar di situ.