Sumur tak lagi ditemukan. Banyak orang memilih air galon yang sumber airnya entah dari mana. Tapi si penjual galon tetap mengatakan air yang dijualnya itu rancak dan terjamin.
Dengan peralihan status sosial demikian, apakah masih relevan pepatah Minang "rancak tapian dek nan mudo". Perlu interpretasi yang panjang.
Kini, kondisi banyak sungai di Padang Pariaman berubah bentuk. Tentu akibat banyaknya aktivitas atau sumber penghidupan lain yang membuat sungai itu rusak, dan tak lagi dijadikan sebagai karunia Tuhan.
Tapi, Jamal dan kawan-kawannya itu mengaku hampir tiap hari dia mandi di sungai itu. Rumah orangtuanya dekat dari sungai.
Dan Batang Mangoi sebagai tempat mengasah kemandiriannya. Nyaris waktu luangnya dia gunakan untuk berlatih dan berlatih menghambur di sungai yang cukup dalam tersebut.
Berenang termasuk olahraga yang dianjurkan dalam agama. Sebuah hadist nabi menyebutkan, ajarkan anak-anak kalian dengan berenang dan memanah.
Apalagi berenang di Sungai yang deras dan dalam, akan membentuk karakter anak itu sendiri bila dia betah berenang dan menghambur seperti yang Jamal lakukan di Batang Mangoi.
Berenang di Batang Mangoi tak perlu mengeluarkan uang. Gratis saja. Tapi, jaga diri dan hati-hati. Segala kemungkinan biasa saja terjadi. Orang awak dulu menyebut, laut sati rantau bertuah. Artinya, sungai bisa menjadikan orang terbentuk karakternya, dan bisa pula menimbulkan malapetaka.
Ada orang dan anak yang salah cebur. Mungkin coba-coba karena melihat kawannya dengan enaknya menceburkan diri, lalu dia coba pula.
Tapi usai dia mencebur, tak pandai mengendalikan diri, sehingga nyaris terbawa arus sungai yang cukup deras di bagian bawahnya.
Mulailah dari yang terdangkal. Angsur-angsur ke tengah sedikit demi sedikit seperti yang diterapkan Jamal. Oleh kawannya, Jamal sepertinya jadi contoh soal kelincahannya meliuk-liukkan badannya saat menghambur.