Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rajin Membaca Itu Bermula dari Pesantren

18 Mei 2021   01:48 Diperbarui: 27 November 2021   16:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iqrak. Bacalah. Itu ayat pertama turun kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, membaca adalah perintah dan anjuran dalam agama.

Membaca, membuat kita jadi luas. Dan yang tak kalah penting, akan tertantang naluri kita untuk terus menulis. Orang yang suka dan rajin menulis sudah dipastikan rajin pula membaca.

Belajar di pesantren, membuat saya rajin dan suka membaca. Pesantren Madrasatul 'Ulum Kabupaten Padang Pariaman yang pertama kali mengajarkan saya suka dan senang membaca buku.

Suka baca buku, suka pula beli buku. Kemanapun saya pergi, selalu ada sebuah buku dalam tas. Meskipun era digitalisasi merambah kehidupan saat ini, yang namanya membawa buku dalam tas tak pernah lupa.

Di pesantren tahun 1990 an, ada langganan majalah. Media Dakwah namanya. Sebuah majalah bulanan. Merasa kurang bacaan itu, kadang seminggu sekali di Pasar Lubuk Alung saya beli Koran Republika dan Tabloid Adil. Kebetulan tabloid itu terbit seminggu sekali, tiap Selasa.

Dari rajin membaca di pesantren itulah timbul pemikiran ingin jadi penulis. Semangat kian kuat, sehingga dimudahkan pula jalan untuk itu oleh Tuhan.

Rajin membaca dan munulis, akhirnya semua impian saya tercapai. Ya, jadi wartawan, menulis buku. Walau belum banyak, adalah karya buku yang saya tulis.

Kalau kita baca ayat pertama turun itu, maka kita temukan perintah membaca dan menulis itu. Di pustaka pribadi saya ratusan buku yang saya koleksi. Tentunya buku yang selesai saya baca.

Sudah ada pula sebagian kawan-kawan yang menyelesaikan tesis dan disertasinya yang meminjam buku saya, saking banyak dan lengkapnya buku yang saya punyai. 

Kepada kawan yang minjam selalu saya ingatkan jangan lupa mengembalikan. Sebab, kelaziman meminjamkan buku, susah untuk mengembalikannya.

Bagi saya, buku termasuk barang penting. Banyak ilmu dan pelajaran. Apalagi, seorang penulis dan wartawan butuh banyak buku untuk referensi.

Buku biografi termasuk yang paling saya gemari. Apalagi biografi intelektual, menjadi kesenangan sekali.

Buku amat membantu dalam pengayaan bahasa yang kita gunakan dalam berbahasa. Dunia tulis menulis, adalah dunia yang tak pernah lentur.

Hanya berkembang, sesuai peredaran waktu dan kondisi. Tentu membaca dalam bentuk manual seperti koran dan majalah, semakin berkurang adanya. Dunia beralih ke portal, sehingga Tiras koran berkurang, dan bahkan koran dalam format cetak sudah ada yang tak lagi terbit.

Namun, membaca lewat media cetak atau buku, akan lain nilainya ketimbang membaca di ponsel kita sendiri. Terutama pada pemeliharaan mata.

Yang penting, keduanya juga membaca. Supaya daya tahan mata kita bagus dan nyaman, bacalah buku. Banyak macam buku yang bisa kita baca. Apa yang kita inginkan, ada bukunya.

Selamat Hari Buku Nasional

Sekarang, hampir semua institusi pemerintah menyediakan pustaka. Paling tidak pojok baca. Hanya minat baca orang yang semakin berkurang.

Generasi kita sekarang lebih banyak main games ketimbang membaca dalam waktu luangnya. 

Di sekolah dan perguruan tinggi pun punya pustaka yang banyak. Tetapi sepi. Yang ramai itu hanya kantin sekolah dan kampus.

Tentu perlu edukasi dan narasi yang mencerdaskan, agar generasi kita tumbuh dan berkembang dengan dunia membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun