Mohon tunggu...
Damai Purba
Damai Purba Mohon Tunggu... Administrasi - Travel for another knowledge

Membuana dalam kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Healing is A Choice

6 Februari 2019   17:40 Diperbarui: 6 Februari 2019   17:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Healing is a Choice Part 1

10 Oktober 2014 pukul 15.21

        Pernahkah kita terluka?

Saya yakin diantara kita pasti pernah terluka, baik itu luka secara fisik atau luka secara batin. Nah, kalau kita bicara mengenai luka fisik maka hal bisa dibicarakan lebih gamblang dan terperinci. 

Ketika kita mengalami luka secara fisik maka kita kemungkinan besar akan tau itu luka apa dan apa yang harus kita lakukan untuk menyembuhkan luka itu, atau kalaupun kita tidak tau, maka dengan segera ada ahli-ahli profesional yang bisa kita temui, Dokter. 

Yang pasti kita tidak mungkin membiarkan luka itu sampai mengganggu hidup kita apalagi masa depan kita. Karena tidak satu orang pun di dunia ini ingin merusak masa depannya hanya karena tidak mau atau "malas" mengurusi yang namanya luka yang sedang ia derita. Karena semua orang pasti mencintai dirinya sendiri.

Kalau tadi kita sudah mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini mau mengganggu hidupnya dan masa depannya hanya karena ia tidak mau atau "malas" mengurusi luka fisiknya atau mengobatinya, Lalu bagaimana dengan luka batin? Pernahkah diantara kita mencoba mencari tau apakah masih ada luka yang tertinggal di dalam diri kita secara batin? 

Atau pernahkah kita menyelidiki hati kita apakah masih ada goresan luka dimasa lalu yang belum kita sembuhkan dihari ini? Atau mungkin kita sama sekali tidak pernah mencoba peduli tentang hal tersebut dan kita terus mencoba untuk segera melupakan, karena terkadang bagi kita hal itu tidak perlu diselesaikan karena perjalanan waktu luka itu akan sembuh. 

Nah inilah yang sering terjadi dalam kehidupan kita, tidak perduli dengan luka batin, padahal efek dari luka batin sama besarnya dengan luka fisik yaitu MENGGANGGU HIDUP DAN MASA DEPAN KITA.

Luka secara batin ini sering dianggap sepele oleh kita, dan merasa bahwa hal itu tidak akan pernah mengganggu kehidupan kita, padahal secara langsung maupun tidak langsung luka batin yang tidak diobati dan disembuhkan akan selalu dan selalu  membawa dampak yang tidak baik bagi perjalanan hidup kita. 

Saya akan memberikan contoh ada seorang anak yang pernah mengalami pelecehan seksual ketika ia masih berusia 5 tahun, bisa kita bayangkan bahwa usia anak 5 tahun tidak mengerti apa-apa mengenai hal itu. Namun kejadian itu membekas di dalam dirinya hingga ia dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang remaja yang tidak percaya diri dan selalu menghindar dari hubungan secara emosional, menjadi pribadi yang sangat tertutup.

Saya akan memaparkan satu contoh lagi akibat dari luka batin yang tidak disembuhkan. Heni adalah seorang mahasiswa jurusan informatika komputer di salah satu fakultas swasta Medan. 

Ketika saya berbagi mengenai kehacuran rumah tangga yang akhir-akhir ini terjadi di dalam masyarakat saat ini dan saya juga berbagi mengenai teman saya yang dipulihkan di dalam keluarga broken home, sebenarnya saat itu saya ingin berbagi mengenai Kristus padanya tapi saya tidak tau kenapa saya akhirnya membukakan mengenai keluarga yang hancur, ketika saya selesai berbagi, akhirnya heni bertanya kepada saya "kakak sering ya, bertanya mengenai kehidupan rumah tangga seseorang" saya sedikit terkejut dengan pertanyaannya. 

Saat itu saya hanya mengatakan padanya bahwa saya tidak mencari tau, namun seseorang mau berbagi pada saya karena mereka sadar bahwa keterbukaan adalah salah satu cara untuk pulih. 

Ketika itu dia pun akhirnya bercerita bahwa ia adalah salah satu anak dari keluarga yang broken home. Heni bercerita panjang lebar mengenai keluarganya, terkhusus ayahnya yang ia sudah anggap mati karena telah meninggalkan mereka karena perempuan lain. 

Ada luka yang dalam yang saya lihat dari sosok heni, luka yang sangat dalam kepada ayahnya. Setelah dia menceritakan semua itu, akhirnya kami beralih bercerita mengenai kehidupannya. 

Saya mendapati satu hal, bahwa lukanya kepada ayahnya yang tidak ia selesaikan akhirnya membuat dia menjadi sosok wanita yang merindukan sosok pria yang memberinya kasih sayang, namun kerinduan itu dia jadikan sebagai sebuah pelampiasan kepada para lelaki, heni akhirnya menjadi sosok perempuan yang suka gonta- ganti pacar, dan pernah melakukan perselingkuhan. 

Pada saat itu saya sadar, heni adalah sosok orang yang terluka pada ayahnnya dan sangat membenci ayahnya karena ayahnya menghianati ibunya, tapi tanpa ia sadari ia telah melakukan hal yang sama seperti apa yang ayahnya lakukan.

 Saya teringat perkataan seseorang kepada saya "orang yang terluka cenderung akan melukai orang lain". Itu terjadi karena tidak adanya pemulihan dalam hidup seseorang itu.

Saya rindu berbagi mengenai satu buku yang cukup memberikan gambaran mengenai luka batin yang tidak kita sembuhkan dan bagaimana buku ini akan membantu kita untuk berjuang keluar dari luka-luka lama yang telah kita "lupakan" namun tidak kita sembuhkan. 

Saya rindu teman-teman yang akan membaca tulisan ataupun ingin langsung membeli bukunya bisa sama-sama berjuang untuk bangkit dari luka yang terlupakan namun berdampak negatif dalam perjalanan kehidupan kita.

Buku ini ditulis oleh STEPHEN ARTERBURN yang berjudul HEALING IS A CHOICE ( PEMULIHAN ADALAH SEBUAH PILIHAN). 10 Pilihan yang akan mengubah hidup anda dan 10 kebohongan yang dapat menghambat pemulihan. Penulis best seller dari every Man's Battle. 

Saya akan mencoba merangkum isi dari buku ini. Semoga bermanfaat bagi teman-teman.  Tulisan ini adalah tulisan Stephen Arterburn dan jika dalam tulisan dibawah ini ada kata "saya" maka kata itu menunjukkan Stephen Arterburn.

PILIHAN YANG UMUMNYA DIAMBIL SETIAP ORANG

Saya pernah berbicara mengenai pilihan kepada sekelompok wanita yag sedang bergumul dengan beberapa bidang. Saya menjelaskan semua pilihan yang tersedia dan berharap bisa memberi inspirasi kepada mereka untuk setidaknya mengambil langkah kecil keluar dari keadaan mereka. 

Ketika selesai, seorang wanita muda yang cantik mendekati saya dan memberi kabar menyedihkan bahwa dia menderita penyakit sklerosis ganda. Dia masih sedih mengenai keterbatasan dan dampak yang penyakit ini hasilkan bagi dia dan keluarganya. 

Dia kemudian menceritakan sesuatu kepada saya yang membuat dia berbeda dengan kebanyakan orang lain ketika menghadapi penyakit dan keputusasaan. Dia bercerita bahwa dia tidak pernah meminta Tuhan  menyembuhkannya. Dia tidak pernah berlutut dan meminta Tuhan mengambil penyakitnya-demi dia dan keluarganya.

Saya sulit memercayainya, karena itu adalah pilihan yang umumnya dibuat semua orang. Bahkan itu adalah satu-satunya pilihan yang banyak orang buat tetapi dia tidak bisa melakukannya. 

Mengapa? Karena dia tidak bisa menghadapi penolakan. Dia telah mengalami penolakan dari Ayah kandungnya dan tidak bisa memikirkan penolakan dari Ayah sorgawinya jika dia meminta disembuhkan dan kemudian ditolak. Dia memang berbeda dari hampir semua orang yang saya temui. 

Saya mendorongnya untuk melakukan apa yang hampir semua orang lakukan; setidaknya meminta Tuhan menyembuhkannya, tetapi saya tidak ingin berhenti pada permintaan itu. 

Ada kemungkinan besar bahwa dia tidak akan mengalami pemulihan itu. Jika itu yang terjadi maka saya tidak ingin itu menjadi akhir dari proses pemulihannya- karena banyak orang yang seperti itu.

 Saya pernah melihat pria yang mengalami kecanduan seks dan yang bergumul dengan nafsunya, dan saya pernah mendengar alasan paling menyedihkan mengapa mereka terus bergumul. 

Umumnya itu karena mereka melakukan satu hal saja demi memulihkan jiwa mereka yang kosong. Satu hal yang mereka lakukan adalah meminta Allah untuk mengenyahkan masalahnya. 

Saya selalu mendengar kalau setiap hari mereka merasakan desakan yang sama, dan mereka meminta Tuhan dan terkadang menangis pada Tuhan untuk menghilangkan rasa sakit yang ada dan menghilangkan hasrat yang terus mendesak. 

Mereka berharap akan hadirnya intervensi dari Allah dalam sejarah dan menghentikan melalui mujizat apa yang sedang berproses secara bertahun-tahun, sehingga mereka tidak melakukan hal yang lain. 

Mereka percaya bahwa meminta pada Tuhan untuk mengenyahkannya, itu sudah cukup, atau mereka menggunakannya sebagai alasan untuk tidak melakukan hal yang lainnya.

Anda mungkin melakukan hal yang sama. Anda mungkin telah memohon pada Tuhan untuk menghilangkan kerakusan Anda, mengubah suami atau istri Anda, mengubah anak-anak Anda, dan menghilangkan rasa sakit Anda. 

Tidak salah memohon pada Tuhan. Bahkan Tuhan pernah berkata bahwa kita sering tidak mendapat karena kita tidak meminta. 

Jika anda masih terus berada dalam sikap memohon pada Tuhan untuk memulihkan Anda atau mengenyahkan pergumulan yang ada maka saya perlu mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang pernah Yesus ajukan pada seorang pria dua ribu tahun yang lalu. 

Mungkin kita pernah mendengar cerita mengenai seorang pria yang sudah menantikan kesembuhan selama tigapuluh delapan tahun di tepi sebuah kolam bethesda untuk menunggu air bergejolak dan berharap seseorang akan menolongnya untuk masuk kedalam kolam yang sedang bergejolak yang akan memberikan kesembuhan.  Tiga puluh tahun dihabiskan mencari sesuatu yang tidak pernah terjadi ketika dia mencoba hal yang sama berulang kali tanpa hasil. 

Kemudian dihari yang menentukan itu Yesus berjalan ketilamnya dan mengajukan pertanyaan yang luar biasa yang ingin saya ajukan pada Anda. Yesus tidak hanya memulihkan dia. 

Dia tidak berasumsi bahwa pria itu ingin dipulihkan setelah tiga puluh delapan tahun dihabiskan sebagai orang cacat. Yesus malah bertanya kepada orang itu, "Maukah engkau sembuh?" (yoh 5:5-6). Pria itu memiliki pilihan untuk disembuhkan atau tidak. 

Harus ada "maukah" dalam kehendak orang itu. Dia bisa memutuskan untuk sakit selamanya dan ada beberapa alasan untuk memutuskan itu. Dia mungkin ingin terus sakit dan berbaring, atau dia sudah nyaman dalam kondisinya.

Mengajukan pertanyaan kepada seorang pria yang sudah sakit selama tiga puluh delapan tahun bukanlah pertanyaan yang aneh. Saya telah melayani banyak orang selama bertahun-tahun yang seharusnya bisa mengalami pemulihan tetapi menolaknya. 

Ada begitu banyak orang yang terus berada dalam zona nyaman dalam kepahitan hidupnya, bahkan tidak mau mengambil pilihan untuk puliha karena sudah merasa nyaman dalam pilihan yang sedang ia buat. 

Saya tahu ada pecandu seks yang menolak untuk dipulihkan. Mereka tahu mereka sakit. Mereka tahu mereka telah menghancurkan karakter, kehormatan, pernikahan, pekerjaan, relasi dengan Tuhan, bahkan kesehatan mereka. 

Mereka tahu semua itu tapi mereka memilih untuk tetap sakit. Mereka menolak mengambil pilihan yang dilakukan para pecandu seks yang telah pulih ketika mereka memutuskan untuk dipulihkan dan sembuh. 

Intensitas dan keterpisahan yang dihasilkan kecanduan lebih memikat dari harapan mendapat keintiman yang autentik dan relasi dalam kasih, oleh karena itu mereka memilih untuk tetap sakit.

TO BE CONTINUE...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun