Pertamina berhasil mengantongi US$ 3,01 miliar atau sekitar Rp 40 triliun selama 2016. Laba ini bukan hanya bukti Pertamina kalahkan Petronas yang menyokong 40% APBN Malaysia, atau setara 27x lipat dibading setoran Pertamina. Namun juga sederet pemain raksasa kelas dunia seperti Exxon yang mentok di angka US$ 2,65 miliar, turun US$ 1,59 miliar dari tahun sebelumnya. Apakah ini pertanda Pertamina siap wujudkan kemandirian energi nasional?
Seakan diguyur kado akhir dan awal tahun, mungkin juga bagian dari kejutan hadiah ulang tahun ke-59, Pertamina berhasil mencapai laba tertinggi sepanjang catatan riwayatnya. Kinerja terbaik Pertamina di bawah kepemimpinan Dwi Soetjipto ini sejenak menghentak dunia industri energi, mengingat Indonesia masih menjadi penampung "buangan" minyak dari Singapura. Jika strategi Dirut Pertamina itu terus didukung penuh oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan Pertamina bisa mendongkrak swasembada energi nasional.
Tantangan Pertamina
Sayangnya, kian tinggi pohon menjulang, angin yang menggoyang tentu semakin kencang. "Mafia migas" tak mungkin tinggal diam menyaksikan Pertamina meroket. Upaya yang sangat kentara sudah diterbitkan Koran Tempo pada 24-25 Januari lalu. Dengan judul menohok, "Pertamina Mendadak Impor Solar" dan "Kilang Minyak Rusak Beruntun, Pertamina Terancam Merugi Rp 1 Triliun", tulisan itu terkesan membanting imej Pertamina di tengah prestasi gemilangnya. Terlebih, akun Twitter berbayar tak henti membuat Chipstory untuk memperkuat maksud.
Jika dibayangkan konfliknya, mungkin seperti alur kisah drama Korea yang selalu digandrungi. Misi Pertamina harus dijegal agar Mafia migas tetap beroperasi dan Singapura tidak kehilangan pasar. Sementara "cubitan kecil" bisa mengulur waktu pertumbuhan Pertamina, seiring menua mesin-mesin di kilang minyaknya. Terlebih kian tahun kebutuhan  BBM terus meningkat. Jelaslah kenapa perjuangan Pertamina harus dibekukan: agar Indonesia tetap menjadi "sapi perah".
Ini hanya kemungkinan. Hanya analisa. Bisa jadi kenyataan yang ada tidak seperti itu. Atau malah lebih rumit? Ah, tampaknya dunia ini benar-benar panggung sandiwara.
Strategi Pertamina
Sepelik apa pun itu, nyatanya Pertamina berhasil menerobos dan terus melaju. Pencapaian laba tertinggi sepanjang sejarah, terlebih mengalahkan perusahaan selevel Petronas dan Exxon pada 2016 itu bukti kerja keras Pertamina. Anak bangsa yang berada di garda industri energi menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan ikat pinggang. Bersiap menginjak pedal gas dan menambah kecepatan. Untuk mewujudkan kemandirian energi nasional.
Langkah Dirut Pertamina Dwi Soetjipto untuk membubarkan Petral, memaksimalkan hilir, dan mendongkrak penjualan BBM nonsubsidi (terutama Pertalite & Pertamax) sudah berhasil menempatkan Pertamina di titik laba tertinggi. Tapi ini baru awal. Perjuangan masih panjang sampai target swasembada energi terpenuhi pada 2025 nanti.