Mentari baru saja bergeser dari atas ubun-ubun, saat peserta #Jelajah4G tiba di kawasan Telaga Remis. "Sejuknya… Serasa kembali ke peradaban", kata Irfa, delegasi Bandung Berkebun, begitu keluar dari mobil Chevrolet putih yang ia tumpangi. Rindangnya pepohonan di tanah milik Perhutani ini membuat Telaga Remis adem. Sungguh 180 derajat terbalik dari kota Majalengka-Kuningan, bahkan dengan hawa Telaga Nilem yang hanya berjarak sekira 500 meter turun dari sini.
#Jelajah4G Etape 1
Kedatangan peserta #Jelajah4G bersama Smartfren disambut nyanyian serangga di pepohonan yang langsung terdengar begitu sampai parkiran. Sekilas memandang sekeliling, imajinasiku liar berputar. Kubayangkan sedang jadi aktor utama dalam film "Jungle Book" yang menjaga perdamaian dunia hutan dengan dunia manusia. Bunga Merah (istilah untuk menyebut 'api' di film itu), seakan mustahil menjadi penghancur keasrian yang begitu menawan.Sayang, kenyataan tak selalu sejalan dengan imajinasi. Bahkan boleh dibilang, kejam. Memang, bukan si Bunga Merah yang melahap apa pun yang disentuhnya. Melainkan sesuatu yang kasat mata. Sadis, menghunus sukma.
Saat satu per satu anak tangga yang menghubungkan parkiran dengan telaga ini kuturuni, menyeruaklah kesedihan yang kelam dari semua sudut. Semacam aroma kesepian. Rerumput yang tumbuh liar di semua titik pun seolah bertanya, "Siapa gerangan yang masih mau menyambangi tempat terpencil di kaki gunung Ciremai ini?". Juga burung-burung yang tak kuhafal namanya, berterbangan dengan raut ketakutan.
Duh! Aku tak tega melihat warung-warung yang tersebar di sekitar lokasi. Tersisa satu dua yang pintunya terbuka dan terlihat penjualnya. Barang dagangan yang dipajang pun tampak usang. Pertanda tak banyak yang berhasil terjual tiap harinya. Mulai makanan ringan, aneka minuman (sachet maupun botolan), hingga kerajinan tangan khas Telaga Remis, sama nasibnya. Tak heran jika malah lebih banyak warung yang dibiarkan tertutup, lapuk, karatan.
Karenanya, kehadiran serombongan manusia berkaos merah dengan tulisan "Gue Generasi Kretif, #Generasi4G" itu membuat penjaga warung sumringah. Kebetulan, hawa dingin ditambah lelahnya perjalanan Bandung-Sumedang-Telaga Remis sejak jam 7 pagi, pas sekali untuk ngopi di sini. Tak heran sebagian peserta lebih memilih menikmati pesona telaga ini dengan menyeruput aneka minuman hangat di warung-warung.
Sebagian lagi, antusias duduk di sebuah perahu yang kami sewa. Dengan harga 10 ribu/orang, kami mengitari Telaga Remis yang konon berasal dari istilah untuk menyebut kerang. "Remis itu artinya kerang. Warga di sekitar memang sering nyari kerang di telaga ini", terang pendayung perahu tanpa mesin yang kami naiki. Meski tak banyak bercerita, setidaknya ia membenarkan kalau pemerintah setempat, dinas pariwisata, dan perhutani, tak begitu serius melestarikan dan mengembangkan objek wisata ini. Kian hari kian sepi dan tak terawat.
Baru beberapa dayung, gerimis yang tak diundang tiba-tiba datang. Satu kata yang kurasa paling pas menggambarkan suasana di tengah telaga yang dikeliling hutan: romantis. Seketika peserta diam menghayati. Selfi, foto, video, tetap diambil tanpa sepatah kata. Mengagumi kekayaan alam Kuningan yang selama ini jarang terekspos media. Bahkan hampir semua peserta baru pertama kali menapakkan kaki di tempat ini.
Hanya saja, kami tak berhasil mendapat informasi yang valid tentang sejarah asal mula Telaga Remis. Sedikit kecewa. Terlebih saat searching di internet, tak ditemukan media yang secara gamblang menceritakan lengkap dengan sumber terpercaya. Malah banyak mitos bertebaran dengan versinya masing-masing. Ada yang menyebut, telaga ini hasil buangan sisa embun (remis diartikan sebagai embun) yang diminum Prabu Siliwangi selama bertapa. Ada juga yang menulis, telaga ini jelmaan air mata Pangeran Selingsingan saat perang melawan Pangeran Purbaya, dahulu kala. Entah mana yang benar.
Mirisnya, banyak juga bertebaran info terkait kasus pipa ilegal yang mengalirkan air dari Telaga Remis ke berbagai perusahaan air mineral. Sempat didemo masyarakat sekitar setelah diketahui perusahaan-perusahaan itu tak pernah menyetor pajak, alih-alih memperhatikan kelestarian lingkungan Telaga Remis. Bagaimana langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini? Lagi-lagi, entahlah. Tak ditemukan berita klarifikasi kebenaran info dan penyelesaiannya. Hanya sempat melejit SEO beritanya saat terjadi demo.
Menurut Wikipedia, telaga yang terletak di desa Kadeuala, kecamatan Pasawahan, Kuningan, ini memiliki area seluas 13 Ha. Di dalamnya terdapat 8 telaga, yakni telaga Leat, Nilem, Deleg, Situ Ayu Salintang, Leutik, Buruy, Tespong, dan Sumur Jalatunda. Hutan wisata telaga yang dikelola Perhutani ini juga menyimpan kekayaan flora fauna. Setidaknya terdapat 160 jenis tumbuhan, salah satunya Pisang Hyang yang tergolong langka.
Bagaimana kondisi telaga-telaga itu?
Tak bisa kujawab lengkap. Terbatasnya waktu membuat kunjungan ini hanya bisa sampai Telaga Nilem, selain Remis. Telaga Nilem (yang berarti "kecil"), tak sesepi si Remis. Pengunjung mulai anak-anak, remaja, hingga orang tua tampak di sekitar telaga ini. Airnya pun lebih jernih, sampai seisi dasarnya terlihat jelas. Terdapat dua gazebo yang juga kami pakai untuk makan siang.
Sayang sekali, para pengunjung (juga petugas?) tak taat aturan. Jelas-jelas tertulis "Dilarang Mandi" karena telaga ini menjadi sumber air untuk warga sekitar. Eeee, tak digubris! Pengunjung terlihat enjoy sekali menyelam ke dalam telaga dan bermain sepuasnya. Juga tak tampak petugas yang menegur. Siapa yang salah? Sekali lagi, entahlah.
(bersambung)
Video #Jelajah4G Etape 1
Baca juga:
Jelajah 4G Etapi 1 Tahu & Bolu Ubi Cileumbu, "Raja & Ratu" Kuliner Khas Sumedang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H