Lain kasus, publik pernah dihebohkan peristiwa Selasa malam tanggal 13 Mei lalu di Pondok Kopi, Jakarta. Sebuah motor yang melaju kencang di jalur yang berlawanan arah bertabrakan dengan mobil Yaris yang sudah sesuai dengan jalurnya. Si pengendara motor, seketika meninggal dunia. Namun ironisnya, hidup matinya ternyata tetap membawa kesialan bagi orang lain. Adalah Austin sang pengendara mobil Yaris yang akhirnya menjadi bulan-bulanan dihakimi di tengah jalan oleh para pemotor lainnya.
Salahkah Austin? Tentu tidak karena berjalan di jalur yang benar dan hanya berkecapatan normal sekitar 60 km/jam. Salah Austin hanya satu: ia bermobil dan dengan demikian ia dianggap termasuk kalangan kaya yang seharusnya dipersalahkan dalam kondisi apa pun dan dengan logika mana pun.
Sebagian pengendara motor yang ikut menghakimi bisa jadi memiliki logika yang sama, logika sinetron. Orang kaya = jahat, yang lebih miskin = kebenaran.
Sedih sekali nasib bangsa ini. Sedihnya karena logika kita justru terlalu materialistis hingga kebenaran pun dipautkan dengan persepsi “apa yang dipunya”, BUKAN apa yang sebenarnya terjadi. Hanya bangsa materialistis yang mendikotomikan kaya dan miskin.
Sebagian dari kita memang TERLALU SOMBONG DALAM KEMISKINAN (baik mental maupun materi).
Ini yang membuat saya memilih hati-hati dalam melihat konflik pembangunan pabrik Semen Rembang. Berbekal ilmu jurnalistik dan pengetahuan tentang media di Indonesia ini saya menelaah kasus tersebut. Cover both side, dua sisi harus saya dapatkan. Beruntung, sebagai blogger yang mengikuti lini masa teman-teman sesama blogger, membuat saya tak kesulitan mendapatkan 'materi' dari kontra. Banyak dan riuh sekali, mungkin karena darah blogger memang darah muda, darah perlawanan, darah ngeksis. Kalau ga melawan, ga ngeksis #nah.
Bagaimana dengan yang pro? juga tak kalah banyaknya, tapi mereka lebih milih diem tak bersuara (lewat postingan). "Serba salah…" Kata seorang kawan.
Sekalinya mencoba bisa jadi bernasib seperti yang saya alami. Bullian saya terima. Dibilang tidak kritis saya tak masalah, karena kritis itu relatif darimana orang memandang. Tapi saat dikatain saya dibayar, sungguh dada ini sesak, hati menangis. Apa karena saya membela korporasi lantas dianggap dibayar. Benar-benar korban sinetron, yang kaya selalu jahat.
Heran. Siapa dibelakang itu sebenarnya? petani kah? warga kah? Yakin..?! Anehnya, kenapa saat perusahaan-perusahaan asing (non PT SI) masuk Rembang puluhan tahun didiamkan saja? Begitu sadisnya pihak di belakang itu ditutupi dengan menuduh saya bayaran, pembela kapitalis, neo liberal, pasukan proxi, dlsb.
Perlu tahu saja. Dibelakang pendirian Semen Rembang, ada ribuan karyawan, ribuan buruh, dan keluarga yang menginginkan kesejahteraan. Dan yang sudah dipastikan adalah peningkatan kesejahteraan warga-warga dengan program CSR PT SI yang sudah banyak disalurkan.