Beberapa pantaun berita di media menyebutkan aktifitas Merapi mulai menurun dan telah melewati fase bahaya, kabar ini tentu sangat menggembirakan terutama bagi pengungsi (termasuk saya). Bagaimana tidak? Kawasan Merapi yang sejuk dengan kesuburan tanah dansegala keindahannya telah memikat hatiku.
Soal status Merapi yang semakin menurun di pertegas pula oleh Kepala BNPB, Samsul Maarif, namun kelihatannya ada perbedaan pendapat antara kepala BNPB dengan mbah Rono, kepala Vuklanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang selama ini selalu menjadi rujukan utama Pemerintah maupun media atas status Merapi.
Bahkan dalam 12 jam terakhir, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta mengeluarkan data bahwa pukul 00.00 WIB- 12.00 WIB, gempa vulkanik terjadi 1 kali, low frequence 3 kali, gempa tremor beruntun, guguran 22 kali, awan panas 1 kali. (http://www.suarapembaruan.com/home/kepala-bnpb-dan-surono-beda-pendapat/961). Bisa kita bandingkan kondisi tanggal 4 s/d tanggal 8 November.
Terlepas soal perdebatan dan perbedaan pendapat antara pemangku kepentingan, saya sebagai warga yang termasuk dalam radius 20 km dari puncak Merapi tentu melihat secercah harapan agar krisis Merapi dapat berakhir. Bagaimana tidak? Sekolah anak-anak sedikit terganggu walaupun telah di titipkan pada sekolah sementara yang bersedia menampung mereka.
Kondisi ini saya coba lihat dari perspektif lain, bahwa krisis Merapi telah melumpuhkan rasa percaya diri masyarakat hidup di radius 20 km (bahkan lebih) dari Merapi. Saya mencoba mengingat kembali, ketika bahaya erupsi Merapi masih radius di bawah 10 km, namun pada letusan tanggal 4-5 ternyata telah merenggut korban di radius lebih dari 10 km seperti di beberapa desa di kecamatan Cangkringan, baru setelah itu radius aman perluas hingga 20 km dari puncak Merapi.
Apa yang dapat di petik dari kejadian ini? Pendapat para pihak yang punya otoritas boleh kita pakai sebagai salah satu referensi saja, bukan sebagai jaminan atas keselamatan. Ujung-ujungnya kitasendiri yang harus lebih waspada dalam menjaga keselamatan diri dan keluarga masing-masing dari amarah erupsi Merapi.
Saya ingat betul, bagaimana saya mengeluarkan bahkan merusak isi kaset (tape) musisi kesayangan untuk saya jadikan win-sock, yaitu untuk memantau arah angin sambil mempelajari posisi rumah kami melalui google earth dan memantau secara terus menerus pembicaraan HT dari Bale Rante.
Saat ini dengan jumlah pengungsi yang telah mencapai 300 ribu lebih, sementara para pengungsi di bawah radius 10 km dari puncak Merapi mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak. Sekiranya mereka boleh kembali dalam waktu dekat apa yang terjadi? Belum lagi mereka juga kehilangan rumah, sumber penghidupan dan alat-alat produksi, tidak dengan mudah kembali dengan kondisi desa telah luluh lantak.
Saya menuliskan ini hanya untuk menyadarkan kita semua, apa yang akan mereka makan sekembalinya kerumah? Saya sangat yakin, mereka tidak punya perbekalan yang cukup untuk di makan sekembalinya ke rumah masing-masing dimana mereka harus menata ulang kehidupan bahkan dari titik nol dengan segala keterbatasannya. Semangat kegotong royongan kita akan di uji, jika tidak? bisa dipastikan wedhus gembel babak kedua telah menunggu para masyarakat lereng Merapi sekembali ke habitat.
Saya berandai-andai sekiranya Merapi reda, jalan Kali Urang dan Jalan Monjali harus kembali di portal dan di jaga, namun kali ini bukan dalam rangka larangan naik dan kembali, tetapi para polisi, tentara, relawan dan masyarakat bersatu padu melepas pengungsi kembali dengan membekali mereka dengan satu paket 5 kg beras, 1 kg gula, minyak goreng dan gereh (ikan asin) paling tidak untuk masing-masing KK guna menghadapi wedhus gembel babak kedua.
Terimakasih untuk semua pihak dan relawan dengangagah berani telah membantu masyarakat lereng Merapi.