Tengku Zulkarnain tentunya harus menyadari juga, lontaran pernyataannya itu juga berpengaruh terhadap para pengikutnya atau orang-orang yang mengkonsumsi informasi itu. Seorang ustadz di Banyuwangi juga menyuarakan isu senada, dan sudah diproses kepolisian.Â
Melihat deretan hoax yang pernah dilontarkan Tengku Zulkarnain sebelumnya, bisa jadi pendapat netizen tadi ada benarnya. Seharusnya, kepolisian saat ini sudah tidak bisa lagi mentolerir atau ragu-ragu memproses kasus hoax yang pernah dilaporkan masyarakat.Â
Kedudukan Tengku Zulkarnain sebagai wasekjen MUI bukan alasa yang bisa dijadikan pembenaran tindakan diskriminasi.
Tengku Zulkarnain memang mengunggah sejumlah foto lembaran kampanye, yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Mandarin. Foto itu ditambahi komentar,Â
"Ini adalah lembar kampanye calon anggota legislatif. Pertanyaannya, dari negara manakah para caleg ini? Jika ini benar lembar kampanye dari NKRI, bagaimana perasaan Anda semua? Senangkah? Atau jengkel? Monggo".
Heriandi Lim pantas merasa dirugikan. Lepas dari cuitan itu bernada rasis, lembar kampanye yang menggunakan dua bahasa itu sesuai dengan konstituen yang ditujunya, yaitu komunitas Tionghoa juga selain komunitas lainnya.
Dia kan maju sebagai caleg No 9 Dapil Pademangan, Panjaringan, dan Tanjung Priok.
Kasus hoax Tengku Zulkarnain itu, kalau dilihat dari perspektif meme tuman, kenakalan anak-anak, dan tindakan hukumannya, perilaku Tengku Zulkarnain itu sudah bisa dikategorikan "nakal tenan" dan benar-benar sudah tuman.
Karena Tengku Zulkarnain sudah bukan anak-anak lagi, tentu tidak bisa sekedar hanya dicubit, dijewer, atau ditampar. Selain tidak sesuai dengan usianya, tindakan mencubit dan sejenisnya itu bisa dianggap kurang ajar, kurang sopan, kurang beradab.
Karena itulah, tindakan yang lebih pas untuk Tengku Zulkarnain adalah "pendidikan" secara hukum. Mungkin setelah diproses hukum dan diberi "pelajaran" hukum, beliaunya menjadi tidak tuman lagi.