Bawaslu DKI Jakarta dalam kasus ini hanya sebagai pelaksana ketetapan UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dibuat DPR RI, juga peraturan Bawaslu RI, yang sudah dikonsultasikan oleh DPR RI melalui Komisi II. Nah, baik dalam UU itu maupun peraturan Bawaslu itu tidak ada keistimewaan terkait "hak kekebalan anggota dewan itu". Kalau memang melanggar, biarpun dia ketua DPR ataupun MPR ya harus diproses hukum.
Hal ini punya kesepadanan dengan kasus wakil ketua DPRD Gunungkidul dari Partai Gerindra, Ngadiyono. Namanya dicoret dari dari DCT Pemilu karena membawa mobil dinas saat acara kunjungan capres Prabowo Subianto ke Hotel Prima SR, Sleman, Yogyakarta.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sleman, hakim memvonis dia bersalah, 4 Februari lalu. Ngadiyono divonis hukuman dua bulan kurungan dengan masa percobaan selama empat bulan dan denda sebesar Rp 7,5 juta. Dia juga dicoret) dari pencalegan.
Dalam kasus itu, Ngadiyono sempat beralasan bahwa mobil dinas itu melekat pada dirinya sebagai anggota dewan sehingga bisa dipakai ke mana saja termasuk ke acara kampanye Prabowo Subianto itu. Kenyataannya, aturan perundangan tidaklah demikian. Sama seperti kasus Fadli Zon dan Zulkifli Hasan.
Tidaklah bisa hak kekebalan anggota dewan dianggap melekat  kemanapun dia pergi, bertindak, dan berucap. Sama seperti arti kata 'miring' tadi, semua itu ada konteksnya. Kehadiran Fadli Zon dan Zulkifli Hasan di acara Munajat 212 itu tentu juga punya konteks tersendiri. Kalau memang acara itu menyalahi aturan perundangan, wajar jika mereka berdua dipanggil Bawaslu DKI Jakarta yang memang mengemban tugas pengawasan pemilu.
Salam waras saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H