Ada banyak pertanyaan terhadap kinerja kepolisian dalam menangani kasus Andi Arief yang ditangkap karena narkoba. Selain dinilai ada upaya mengaburkan kronologi penangkapan, polisi juga dinilai terlalu cepat menyebut Andi Arief hanya pemakai yang perlu direhabilitasi.
Pembebasan Andi Arief, Selasa malam kemarin, sehari sebelum waktu 3x24 jam pemeriksaan, seolah membenarkan dugaan adanya sesuatu yang tidak biasa dalam penanganan kasus narkoba semacam ini. Ada semacam keistimewaan yang diberikan kepada Andi Arief, diakui atau tidak.
Tidak mengherankan jika di medsos banyak yang mengutarakan kekecewaan atas langkah kepolisian itu. Jika memang semudah itu seseorang yang ditangkap karena narkoba dibebaskan, mengapa hal serupa tidak dilakukan juga kepada rakyat biasa. Bukankah hukum itu tidak mengenal diskriminasi dan berlaku sama bagi semua warga negara? Ini satu contoh pertanyaan yang muncul.
Soal rehabilitasi yang akan dijalani Andi Arief juga menimbulkan pertanyaan. Benarkah Andi Arief seorang pecandu yang harus menjalani rehabilitasi? Bukankah dalam penangkapan Minggu malam lalu, ditemukan juga kondom dan juga seorang wanita yang menunjukkan penggunaan narkoba itu untuk kesenangan seksual.
Yang bertanya itu mungkin kurang memahami undang-undang. Dalam ketetapan Pasal 54 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengguna narkoba wajib direhabilitasi. Andi Arief selaku pengguna narkoba yang tertangkap polisi tentunya juga wajib direhabilitasi, meski itu sekedar rehabilitasi kesehatan dan bukan mental.
Ada juga yang menyoroti persoalan barang bukti narkoba yang tidak ditemukan dalam kasus Andi Arief ini. Pada beberapa kasus serupa, polisi biasanya melakukan penggeledahan di beberapa tempat, misalnya di rumah tersangka, mobil, atau tempat lain. Apakah ini juga sudah dilakukan pihak kepolisian.
Berbagai pertanyaan yang timbul akibat penanganan kasus Andi Arief yang dinilai diistimewakan itu mungkin harus dijawab secara gamblang oleh polisi. Beberapa persoalan teknis terkait prosedur pencarian barang bukti; sebab Andi Arief harus direhabilitasi; dan apakah perkara ini cukup berhenti sampai di proses rehabilitasi dan tidak perlu dibawa ke penuntutan di pengadilan, semua perlu penjelasan polisi.
Proses penanganan kasus Andi Arief sudah menunjukkan adanya "sesuatu" sejak adanya semacam ralat informasi dari Humas Mabes Polri. Andi Arief yang sebelumnya diberitakan ditangkap bersama seorang wanita, dinyatakan ditangkap sendiri. Ini tentu langsung memancing reaksi karena tidak sesuai dengan barang bukti di TKP yang lain.
Akhirnya, Selasa kemarin informasi terkait wanita itu dikonfirmasi ulang dan dinyatakan bahwa memang benar ada wanita saat penangkapan Andi Arief namun saat penggerebekan wanita itu tidak berada di kamar. Soal bagaimana wanita itu kemudian berada di kamar bersama Andi Arief dan petugas seperti tampak dalam sebuah foto, katanya masih akan diteliti.
Dari persoalan wanita tersebut, yang seolah ditutupi keberadaannya, hingga begitu cepatnya Andi Arief dibebaskan, wajar jika ada yang menilai ada perlakuan istimewa dalam kasus Andi Arief ini. Dia memang tokoh politik, wakil sekjen Partai Demokrat. Namun, bisakah hukum berlaku manis kepada seseorang seperti dia.
Memang, Andi Arief tidak bebas begitu saja. Seperti kata polisi, dia akan menjalani rehabilitasi. Tetapi, jika dibandingkan dengan kasus serupa yang dilakukan pengguna narkoba yang lain, proses penanganan kasus Andi Arief ini berjalan cukup cepat. Seolah kepolisian ingin segera melepaskan bola panas saja karena status Andi Arief.
Tulisan ini tidak hendak menuduh macam-macam misalnya soal kemungkinan adanya intervensi atau deal tertentu. Itu urusan internal kepolisian. Namun, bahwa ada yang lain dalam penanganan kasus ini, memang itu bisa dirasakan masyarakat.
Andi Arief memang politisi, wasekjen PD yang katanya akan mengundurkan diri setelah kasus ini. Namun, melihat sepak terjang dia selama ini, khususnya yang terlihat dalam pernyataannya di medsos yang mengarah ke penyebaran hoax itu, pantaskah dia menerima "keistimewaan" perlakuan hukum seperti itu?
Ada baiknya kita melihat ulang kasus seorang politisi lain yang"sekelas" Andi Arief yaitu Indra J Piliang yang juga pernah terantuk kasus narkoba. Dia bersama dua temannya ditangkap sedang mengkonsumsi sabu September 2017 lalu.
Indra bersama dua temannya meski dikenakan pasal 127 tentang penggunaan narkoba dengan ancaman hukuman kurungan 1 tahun penjara, mereka tidak ditahan karena tidak ditemukan barang bukti narkoba saat penangkapan. Namun, mereka juga diwajibkan menjalani rehabilitasi. Indra J Piliang saat itu juga mengundurkan diri dari Partai Golkar.
Kalau melihat penanganan kasus dua politisi itu, sebenarnya ada kemiripannya. Sama-sama tidak ditemukan barang bukti dan sama-sama direhabilitasi. Bedanya kasus  Andi Arief lebih ramai karena tingkah laku Andi Arief sebelumnya yang sering buat heboh. Itu masih ditambah lagi dengan keberadaan kondom dan wanita berbaju pink yang jadi tanda tanya itu.
Meskipun begitu, penanganan perkara yang melibatkan politisi semacam ini, khusus dalam kasus Andi Arief ini, tetap saja mengundang rasa cemburu terkait asas bahwa setiap warga negara sama di mata hukum. Apakah masyarakat biasa juga bisa menikmati proses hukum semacam yang dinikmati para politisi itu.
Ada baiknya polri dalam persoalan ini mendengar masukan dari mantan Ketua MK Mahfud MD. Guru besar UII itu berharap agar polri bertindak profesional dalam menangani kasus pidana yang menjerat  para politisi itu.
"Saya menyerukan agar polisi itu bertindak profesional. Bertindak profesional itu jangan ada pertimbangan politik kalau ada orang yang ketangkap lalu karena ini dari partai politik, biar tidak gaduh lalu ditunda dulu. Hukum tidak boleh begitu, hukum harus bekerja tegas, ketahuan sekarang dibuktikan sekarang. Tidak boleh ada pertimbangan, orang ini tokoh politik, ramai nanti kalau diadili. Tidak boleh begitu." (Dikutip dari Kompas TV).
Salam waras saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H