Rupanya, episode drama politik yang diwarnai sebutan "jenderal kardus", "jenderal baper", Â dan "mulut comberan" di awal pencawapresan Sandiaga Uno masih berlanjut.Â
Urusan yang terkait dugaan adanya mahar politik itu kini didesak untuk diusut kembali paska Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia memberikan peringatan kepada ketua Bawaslu dan dua anggotanya karena menghentikan kasus itu.
Penabuh gong episode lanjut drama politik ini adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendesak Bawaslu untuk mengusut kembali kasus ini.Â
Sebenarnya, putusan DKPP yang diketok 1 Februari 2019 lalu, hanya memberikan peringatan tanpa ada perintah untuk mengusut kembali kasus itu. Namun, secara etik jika Bawaslu dinyatakan bersalah dan diberi peringatan, sudah sepantasnya kasus itu dibuka dan diusut kembali.
Dalam putusannya, DKPP menyebut tindakan Bawaslu yang menghentikan kasus dugaan mahar politik itu, dengan alasan Andie Arif selaku saksi tidak mau memenuhi panggilan Bawaslu, tidak tepat.Â
Sebabnya, Andi. Arief tidak pernah menyatakan menolak memberikan keterangan sementara dia masih bisa dimintai keterangan dengan memanfaatkan alat komunikasi. Karena itulah, Bawaslu dinilai telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Baiklah kita mundur sejenak ke awal kasus ini. Pemilihan Sandiaga Uno sebagai cawapres yang diumumkan oleh Prabowo Subianto pada Kamis tengah malam, 9 Agustus 2018 lalu memang kontroversial.Â
Sebelumnya sudah banyak lobi politik dari partai pendukung Prabowo, termasuk Partai Demokrat, yang menyodorkan cawapres pendamping Prabowo.
Namun rupanya banyak cinta bertepuk sebelah tangan. Beberapa jam sebelum pengumuman itu muncul cuitan Wasekjen Partai Demokrat Andie Arif di Twitter, Rabu malam 8 Agustus 2018: "Prabowo ternyata kardus, malam ini kami menolak kedatangan ke kuningan.Â
Bahkan keinginan dia menjelaskan lewat surat sudah tidak perlu lagi. Prabowo lebih menghargai uang ketimbang perjuangan, jenderal kardus."
Itu masih dilanjut dengan cuitan berikutnya: "Jenderal kardus punya kualitas buruk, kemarin sore bertemu ketum Demokrat dengan janji manis perjuangan. belum dua puluh empat jam mentalnya jatuh ditubruk uang Sandi uno untuk mengentertain PAN dan PKS." [1]
Nah, hebohlah jagat persilatan politik Indonesia saat itu. Andie Arif masih menambah penjelasan secara langsung kepada wartawan bahwa Sandiaga Uno memberikan masing-masing Rp 500 miliar kepada PAN dan PKS untuk mendapatkan dukungan kedua parpol itu. Sungguh sebuah pernyataan yang "panas membara" dan bisa menghanguskan tempe setipis kartu ATM.
Sebagai balasannya, muncul frase  "jenderal baper" dari kubu Gerindra dan juga "mulut comberan". Di medsos muncul berbagai meme yang heboh yang menggambarkan manusia kardus ataupun jenderal kardus, yang jadi olok-olok warga net (jelas ini bukan monopoli cebong IQ 200 sekolam).Â
Itulah awal mula kasus yang kini digugat agar ditangani kembali oleh Bawaslu. Apakah ini akan mempengaruhi pencalonan Sandiaga Uno sebagai cawapres? Berdasarkan keterangan Ketua Bawaslu Abhan, tidak terdapat sanksi apabila seorang bakal calon presiden atau wakil presiden terbukti memberikan "mahar politik" dalam proses pencalonan capres-cawapres. [2]
Yang mendapat sanksi adalah parpol penerima mahar yang tidak boleh mengajukan calon pada pilpres berikutnya. Ini ketetapan yang ada di dalam Pasal 228 UU No 7 Tahun 2017. Sebaliknya, sebagai pemberi mahar, tidak ada ketetapan sanksi apa pun dan pasangan capres-cawapres tetap boleh melanjutkan ikut dalam pilpres.
Dengan demikian, jikalau Bawaslu mengusut kembali kasus ini, dengan meminta keterangan kepada Andie Arif dan pihak lain, dan berhasil membuktikan dugaan adanya mahar dari Sandiaga Uno kepada PAN dan PKS, yang terkena dampak langsung adalah kedua parpol itu.Â
Sementara bagi Sandiaga Uno, hal itu tidak jadi masalah kecuali nama baiknya akan lebih "harum" sebagai cawapres yang "kaya dan dermawan".
Dengan dasar itu, desakan Partai Solidaritas Indonesia kepada Bawaslu itu bisa dipahami sebagai desakan anggota peserta Pemilu agar Bawaslu bertindak profesional dengan mengindahkan etika penyelenggara pemilu yang sehat. Tentunya, sikap PSI itu juga bisa dipahami sebagai goyangan asyik untuk PAN dan PKS.
Meskipun begitu jangan diabaikan juga, kredibilitas Sandiaga Uno bisa ikut tergoyang juga seandainya Bawaslu mulai membuka kasus ini. Dan jika ternyata tuduhan mahar itu terbukti benar, goyangan yang terjadi pastilah lebih asyik lagi. Sebuah aksi goyang menggoyang yang pasti seru ditonton. Pemilu itu sebenarnya memang asyik.
Pertanyaannya sekarang apakah Bawaslu masih mempertimbangkan persoalan etika hukum atas keputusan DKPP itu. Memang jika mengacu kepada bunyi keputusan DKPP, tidak ada perintah pengusutan kasus mahar itu kembali.Â
Namun, setelah dinyatakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu, karena menghentikan pengusutan kasus mahar itu dan diberi sanksi peringatan, tentu harus ada tindak lanjutnya.
Dilihat dari sudut pandang ini, desakan PSI cukup relevan. Sekarang semuanya berpulang ke loyalitas Bawaslu dalam mengawal proses pemilu secara fair dan profesional. Pastinya Bawaslu bukanlah pemandu sorak pemilu.Â
Salam damai nan indah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H