Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengulik Pasukan Cyber Prabowo-Sandi

4 Februari 2019   13:55 Diperbarui: 4 Februari 2019   14:27 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekumpulan anak muda duduk melingkar di dalam ruangan. Berukuran sekitar 3x4 meter. Tiap orang memegang gawai. Laptop maupun ponsel pintar. Tatapan mereka fokus ke depan. Menghadap papan. Mendengar dan mencatat instruksi pimpinan.

Ruangan itu dinamakan 'War Room'. Berlokasi di kawasan Jakarta Selatan. Banyak gagasan maupun beragam ide muncul dari ruangan itu. Hingga muncul kumpulan anak muda bernama Prabowo-Sandi Digital Team (PRIDE). Mereka pendukung calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02.

Rapat pada Kamis siang itu, dipimpin Taufik Hidayat. Posisinya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PRIDE. Banyak hal dijabarkan. Salah satunya mendongkrak citra bahwa jagoan mereka di Pilpres 2019 nanti, dicintai masyarakat. Pelbagai kalangan dan golongan."

Itu adalah cuplikan berita di merdeka.com 17 Desember 2018.   [1]  Berita itu secara jelas menunjukkan keberadaan pasukan perang medsos pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi, yang bernama PRIDE. 

Masih pada hari yang sama cnnindonesia  menurunkan berita berjudul "Pendukung Prabowo di Medsos Diduga 'Cyber Troops' ". [2]   Berita  CNN Indonesia itu mengutip hasil analisis media sosial dari perusahaan analis big data GDILab (Generasi Digital Indonesia) sepanjang tahun 2018.

Singkatnya berita itu menyebut pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga di media sosial diduga lebih banyak bergerak sebagai pasukan siber dengan komando terpusat. Sementara, pendukung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih banyak bergerak secara individual. Selain itu, pendukung Prabowo-Sandi juga lebih banyak memiliki akun media sosial yang mencurigakan. Cirinya, akun yang baru dibuat dan dengan pengikut atau follower sedikit.

Saya sendiri selama beberapa hari terakhir ini rajin melihat trending topik Twitter dengan hastag yang dikuasai kubu pendukung Prabowo-Sandi. Bermacam hastag ada di trending topik Twitter itu, bahkan hampir semua trending topik, seolah menunjukkan keperkasaan mereka di situ. Pagi ini agak berbeda, sepertinya trending topik Twitter normal seperti hari-hari yang lalu, tapi agak siang sudah muncul lagi soal dancuk, disusul lagi dengan hastag lain.

Apakah itu mencerminkan keperkasaan yang sebenarnya, belum tentu juga. Jika itu hasil kerja sebuah tim cybertroop ya sekedar gagah-gagahan saja.

Apakah itu berpengaruh terhadap hasil pilpres? Tentu saja sedikit banyak pasti berpengaruh terlebih terhadap kelompok massa yang kurang begitu paham soal penggiringan opini dan citra semacam itu. 

Ketika Jokowi secara terbuka menyebut adanya propaganda ala Rusia yang ditandai dengan banjir hoax, banjir kebohongan, disinformasi, misinformasi sampai malinformasi, saya teringat keberadaan pasukan cyber ini. Naif sekali jika mereka yang bergerak di "War Room" itu tidak jadi sasaran kecurigaan ikut bermain dalam propaganda ala Rusia itu. (Ada berita di detik.com yang meski singkat bisa membantu pemahaman kita tentang propaganda ala Rusia itu. Ini linknya [3]

Beragam bayangan muncul di otak saya, tentang ada tim yang kolaboratif asing, aseng, lokal dengan seperangkat alat IT. Muncul bayangan adegan di film Brexit yang super heboh soal referendum di Inggris tentang bertahan atau keluar dari Uni Eropa itu. Ya imajinasi liar itu muncul begitu saja, setelah Jokowi menyatakan adanya tim kampanye yang berpropaganda ala Rusia.

Berita konsultan politik asing dipakai Prabowo itu sebenarnya berita lama, sejak gelaran Pilpres 2014 lalu. Sementara soal propaganda ala Rusia itu juga sudah lama jadi gunjingan dan bahkan tuduhan terbuka di media sosial. Kunjungan Sandiaga Uno ke Rusia saat menjabat jadi wagub DKI Jakarta dulu, juga tidak luput dari gunjingan dan analisis politik.

Curiga boleh saja, tetapi tentu saja terlalu gegabah untuk menuduh tim cyber di War Rom markas pemenangan pemilu Prabowo-Sandi itu pasti ikut terlibat. Mereka sedari awal secara resmi menyatakan dilarang kampanye hitam. Jadi sampai ada pembuktian secara legal, kita memang tidak boleh menuduh mereka.

Meski begitu, jika seorang Jokowi sampai mengungkap adanya propaganda ala Rusia di tim kampanye, tentu bukan sekedar pepesan kosong. Persoalan banjir berita hoax, juga semprotan kebohongan, disinformasi ini sudah cukup lama diutarakan banyak pihak. Strategi kotor yang dikenal dengan sebutan "firehose of falsehood" sudah banyak diulas dan dinyatakan telah dilakukan di perhelatan politik sejak Pilkada DKI Jakarta yang lalu. 

Kompasianer Giri Lukmanto sempat menulis artikel tentang Jurnalisme, Badai Disinformasi, dan Indonesia [4], sebuah tulisan yang mengulas masalah disinformasi lewat konten digital ini. Praktik disinformasi lewat konten digital ini terbukti sangat berbahaya dan merusak, mengakibatkan gesekan sosial dan persekusi, dan terbukti dipraktekkan pemburu kekuasaan yang culas, saat pemilu di AS, Brazil, referendum Brexit, dan banyak negara. Uni Eropa dan UNESCO kini berperan aktif melawan penyebaran disinformasi ini.

Jadi, ketika Jokowi mengutarakan adanya praktik propaganda ala Rusia, hal itu bisa dinilai sebagai penegasan saja. Tentu saja, pernyataannya itu sudah pasti didasarkan kepada informasi sahih dari sumber yang sangat bisa dipercaya. Jelas ini pernyataan tidak bisa disandingkan dengan pernyataan bahwa Jawa Tengah itu lebih luas dari Malaysia atau bahwa Haiti itu berada di Benua Afrika.

Boleh saja pihak yang tersengat oleh pernyataan Jokowi itu "mencak-mencak" dan secara koor ala paduan suara membantah dan balik menuding dengan bermacam bahan dan alasan. Namun, bahwa apa yang diutarakan Jokowi itu sudah terjadi, tidak bisa dipungkiri. Contoh kasusnya sudah banyak. Jadi jika dipandang dari sudut ini, pernyataan Jokowi itu sangat sahih.

Persoalannya, setelah secara terbuka praktek propaganda ala Rusia ini disebut dan diminta diakhiri, apa tindakan selanjutnya. Jika sekedar perang kata-kata, dan tidak ada tindakan lanjutan, meski praktek politik "firehose of falsehood" itu ada, yang muncul sekedar hiruk pikuk. 

Inilah yang seharusnya kini jadi titik fokus perhatian. Tidak bisa praktek politik kotor model "firehose of falsehood" itu terus dilakukan. Jikalau memang ada pihak atau kekuatan politik atau konsultan dan timnya yang terlibat, harus ditangani secara hukum dan dihentikan. Dengan begitu, pesta demokrasi yang sangat tidak elok dan santun serta merusak dan mengoyak jati diri bangsa ini bisa kembali sejuk dan bermartabat.

Bisa saja, pernyataan Jokowi beberapa hari ini dinilai sebagai serangan balik yang cukup keras terhadap Prabowo dan kelompoknya. Namun, apa yang diutarakannya itu sebenarnya hanya membalikkan omongan dan tindakan Prabowo dan kelompoknya agar kembali ke jalan yang benar (jangan tertawa, meringis boleh).

Coba dipikir menggunakan akal sehat. Salahkah mengajak orang optimis menatap masa depan Indonesia yang gemilang? Salahkah meminta orang untuk bubar dan punah sendiri tanpa mengajak rakyat Indonesia? Salahkah meminta masyarakat agar tidak percaya hoax? Tidak salah, kan?

Tulisan ini memang bukan soal salah-menyalahkan. 

Salam damai nan indah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun