Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menkominfo Kok "Digoreng"

2 Februari 2019   10:37 Diperbarui: 2 Februari 2019   11:32 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah jelas, aparatur sipil negara (ASN) itu harus netral dalam perhelatan pemilu. Soal pilihan politik itu nanti salurannya di tempat pemungutan suara.  Sebagai orang yang digaji negara, dia harus menjadi abdi negara yang baik dengan bersikap netral dan melayani masyarakat tanpa membeda-bedakan atas dasar pilihan politik. 

Hal ini juga sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi ketika seorang ASN berlaku menyimpang bahkan secara terbuka mengutarakan keyakinan atas pilihan politiknya, lantas mendapat teguran, itu sebuah hal yang wajar. 

Teguran pun dalam bentuk kalimat yang halus, yaitu "siapa yang gaji Ibu". Dengan pertanyaan itu, diharapkan ibu ASN tadi sadar tentang posisinya yang harus netral.

Inilah konteks yang saya pahami terkait pernyataan Menkominfo Rudiantara yang viral di video dan telah digoreng rame-rame sehingga jadi serangan politik. Tentu saja, untuk memahami pertanyaan Menkominfo itu, diperlukan hati yang jernih yang bisa memahami etika dan unggah-ungguh komunikasi di jajaran birokrasi. 

Teguran itu tidak harus dengan pernyataan saklek, tetapi sebuah pertanyaan terkadang lebih efektif untuk mengingatkan agar ASN sadar posisi sebagai abdi negara yang netral.

Sudah bukan rahasia lagi, Kementerian Komunikasi dan Informasi selama ini di media sosial sering diledek sebagai kementerian yang banyak "sesapiannya", sebuah sebutan untuk pendukung PKS. 

Hal ini dilatarbelakangi adanya kader PKS yaitu Tifatul Sembiring yang pernah menjabat menteri Kominfo. Kini PKS sudah berada di luar pemerintahan dan berada di kubu oposisi yang mengusung capres/cawapres bernomor urut 2.

Meski Tifatul Sembiring sudah tidak menjabat lagi di Kementerian Kominfo, para pengikutnya yang jadi ASN di tempat ini tentu masih ada bahkan disebut cukup banyak. 

Senyampang ASN pendukung PKS itu tetap menempatkan dirinya sebagai abdi negara yang netral, tentu tidak ada masalah. Kelompok politik yang memegang pemerintahan boleh silih berganti, namun ASN tetap harus berkomitmen menjadi abdi negara yang netral.

Dari pemahaman ini, seharusnya ibu ASN yang ditegur dengan kalimat halus, "siapa yang gaji Ibu", tidak mengutarakan pandangan politik secara terbuka seperti sebuah aksi kampanye, di depan menteri pula. 

Sadar diri adalah kunci jawaban permasalahan ini. Namun, kenyataannya tidak demikian. Bukannya sadar, adegan ibu ASN itu dan menkominfo malah disebarkan ke khalayak luas dalam sebuah video.

Tersebarnya video yang konon tidak utuh lagi itu telah digoreng sedemikian rupa sehingga muncul kesan Menkominfo Rudiantara yang bersalah dan harus diproses Bawaslu. Sebuah gorengan panas politik yang dimanajemeni sedemikian rupa, menyebar di medsos dan dijadikan hastag trending topik di Twitter.

Masyarakat yang kurang memahami kehidupan birokrasi dan aturan yang harus dijalankan ASN, tentunya dengan cepat mengira pertanyaan Menkominfo Rudiantara itu jawabannya adalah yang menggaji ASN adalah pemerintahan Jokowi dan karena itu ASN harus mendukung Jokowi. Ini sebuah upaya disinformasi yang bisa jadi cukup efektif untuk tipe masyarakat seperti itu.

Padahal yang paham tentu dengan cepat bisa menangkap jawaban pertanyaan itu adalah yang menggaji ASN adalah negara dan karena itu seorang ASN harus bersikap netral sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. 

Jika sudah paham, tentu terasa menggelikan kalau ada yang melaporkan Menkominfo Rudiantara ke Bawaslu karena dianggap merugikan paslon no 2. Padahal mereka paham betul aturan perundangan yang mengikat ASN.

Coba bayangkan kekacauan apa yang terjadi jika ASN tidak diharuskan bersikap netral. Birokrasi pemerintah akan berubah jadi mesin politik penguasa seperti era Orde Baru. 

Itu kalau ada kekuatan politik yang dominan yang bisa menguasai birokrasi sepenuhnya. Kalau kekuatan politik itu tidak dominan, maka birokrasi pemerintah akan jadi ajang "pertempuran politik" yang panas dan melelahkan dan bisa membuat jalannya pemerintahan tersendat atau auto pilot atau bahkan macet. 

Pelayanan publik bisa amburadul tidak karuan. Jadi, jika sudah paham posisi dan kewajiban ASN dalam perhelatan politik, mengapa pula harus bersikap menyimpang model ibu ASN tadi. Kalau memang tidak bisa dan tidak mau menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan ASN netral, silakan berhenti dari ASN. Itu lebih fair. 

Kalau ngotot melanggar justru bisa merugikan diri sendiri seperti tiga petugas medis di RSUD Ade M Djoen Sintang Kalimantan Barat yang bisa terancam pidana pemilu. 

Kini setelah permasalahan lebih jelas, tentu lebih bijak jika kasus ini jadi bahan pelajaran dan introspeksi seorang ASN apakah dia masih bisa setia melayani negaranya dengan sikap netral dalam setiap perhelatan politik. Jika sudah tidak bisa lagi jadi abdi negara yang netral, tentu konsekuensinya silakan berhenti jadi ASN. Ini fair.

Tetapi, ada sebuah pertanyaan yang mengganggu, bagaimana bisa sebuah video seperti itu bisa beredar bebas? Apakah Kementerian Kominfo sudah begitu demokratis dan bebasnya? Kalau memang begitu, ya syukurlah. Namun seharusnya kalau memang hendak menyebarkan video, yang utuh yang tidak bisa digoreng-goreng.

Akhirnya, netralitas. ASN dan panduan perilaku selama ada perhelatan politik mungkin memang harus disosialisasikan lagi. Kasihan juga kalau ada yang harus dipidana atau bahkan diberhentikan akibat ketidaktahuan aturan perundangan yang berlaku.

Salam salaman saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun