Multazam, Kaspri, Yasan, dan perajin tenun Parengan yang tersebar di berbagai desa itu memang sekedar pekerja borongan. Mereka tidak terlampau hirau dengan kelangsungan tenun sarung itu. Kalau anaknya menekuni profesi lain yang secara ekonomi lebih baik, mereka nilai itu wajar saja. Alat tenun itu pastilah akan menemukan jalannya sendiri berpindah ke rumah lain jika mereka sudah tak mampu memainkannya lagi.
Rata-rata tiap pekan bisa dihasilkan 1.200 hingga 1.350 potong sarung atau kain tenun ikat. Dari jumlah tersebut, sekitar 75 persennya khusus untuk pesanan ekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Suriah, dan Somalia.Â
Kalau melihat angka itu tampaknya masa depan tenun sarung Parengan memang masih baik-baik saja. Entah sampai kapan kondisi baik-baik saja ini bertahan jika yang menekuni profesi ini sekarang sudah tua-tua dan tidak diimbangi dengan kaderisasi yang baik.Â
Dag dag...dag dag...dag dag.... Suara alat tenun tua itu masih berbunyi hingga sore hari. Mungkin saja sampai malam hari para lelaki itu masih akan memainkannya setelah saya pergi dari situ. Ada lampu listrik terpasang di atas alat tenun tua itu.
Salam salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H