Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepotong Sarung dari Pinggir Bengawan Solo

1 Mei 2018   16:07 Diperbarui: 1 Mei 2018   23:56 2512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Multazam, Kaspri, Yasan, dan perajin tenun Parengan yang tersebar di berbagai desa itu memang sekedar pekerja borongan. Mereka tidak terlampau hirau dengan kelangsungan tenun sarung itu. Kalau anaknya menekuni profesi lain yang secara ekonomi lebih baik, mereka nilai itu wajar saja. Alat tenun itu pastilah akan menemukan jalannya sendiri berpindah ke rumah lain jika mereka sudah tak mampu memainkannya lagi.

Memindahkan benang ke morosepil menggunakan ingan/ foto dokpri
Memindahkan benang ke morosepil menggunakan ingan/ foto dokpri
Penasaran dengan jumlah perajin yang masih bertahan, saya gogling data soal tenun Parengan ini. Data pasti jumlah perajin tenun sarung Parengan ternyata tidak ada. Berita tempo.co 28 April 2018 yang mengutip Miftakhul Khoir seorang perajin dari Parengan (tidak jelas, Miftakhul ini perajin atau pengusaha atau juragan) menyebut di Kec. Maduran terutama di Parengan, ada 28 perajin tenun ikat rumahan dengan 2.500 pegawai lepas. 1

Rata-rata tiap pekan bisa dihasilkan 1.200 hingga 1.350 potong sarung atau kain tenun ikat. Dari jumlah tersebut, sekitar 75 persennya khusus untuk pesanan ekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Suriah, dan Somalia. 

Kalau melihat angka itu tampaknya masa depan tenun sarung Parengan memang masih baik-baik saja. Entah sampai kapan kondisi baik-baik saja ini bertahan jika yang menekuni profesi ini sekarang sudah tua-tua dan tidak diimbangi dengan kaderisasi yang baik. 

Dag dag...dag dag...dag dag.... Suara alat tenun tua itu masih berbunyi hingga sore hari. Mungkin saja sampai malam hari para lelaki itu masih akan memainkannya setelah saya pergi dari situ. Ada lampu listrik terpasang di atas alat tenun tua itu.

Salam salaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun