Para perajin akan mengikuti motif atau pola yang telah ditetapkan para juragan. Kerja mereka adalah memindahkan benang ke gulungan yang mereka sebut morosepil menggunakan alat pemutar yang disebut ingan. Setelah semua tertata, barulah mereka memainkan alat tenun itu, dengan suaranya yang khas...dak dak...dak dak....
"Ini motif tempe kalau saya menyebutnya. Kalau sudah jadi, upahnya Rp 45.000," kata Multazam, satu di antara tiga lelaki yang menenun sarung siang itu. "Pengerjaanya agak sedikit rumit. Kalau di pasaran, sarung ini dulu paling murah seharga Rp 205 ribu."
Saya perhatikan, sarung tenun yang digarapnya memang relatif halus, berwarna dasar hitam dengan motif putih. Tidak tampak tebal seperti umumnya sarung Parengan yang harganya lebih murah. Tetapi tetap terasa dingin karena bahan dasar benang jenis maseris (mercerized) yang dipergunakannya. Salah satu ciri khas sarung tenun Parengan memang  terasa dingin dan nyaman saat dikenakan.
Benang sebagai bahan baku tenun ikat itu konon masih harus impor dari China dan India, seperti maseris (mercerized), spon (stafel fiber), juga sutra. Â Demikian juga dengan zat pewarna kimiawi yang digunakan juga produk impor. Saat ini pewarna kimiawi memang banyak jadi pilihan di industri tenun ikat di banyak daerah, meskipun pewarna alami masih jadi pilihan untuk produk tenun kelas atas yang harganya jutaan rupiah per potong kainnya.
Terpaut dua rumah, tetangga Multazam, Yasan dan Kaspri yang rumahnya berhadapan juga tengah asyik dengan alat tenunnya. Yasan menenun sarung motif yang mereka sebut botol-botolan, demikian juga Kaspri. Bedanya, kualitas sarungnya berbeda, agak kasar dengan upah lebih rendah. Kaspri yang mengerjakan sarung dengan lebar 80 cm panjang 4 m, ongkosnya hanya Rp 28.000 sementara Yasan hanya Rp 25.000.
"Ini hanya pekerjaan sambilan. Yang utama ya bertani. Kalau sudah nanam atau kerja tani lainnya selesai, baru kami buat sarung ini. Upahnya ya hanya itu. Terkadang sehari selesai satu sarung terkadang tidak selesai," kata Kaspri, lelaki bercucu lima yang usianya sekitar 64 tahun. Kakek tua ini mengaku sudah menenun sarung sejak tahun 1975 saat baru menikah.
Jangan kaget dengan usia Kaspri. Para penenun sarung Parengan ini memang rata-rata usianya sudah lima puluh tahun ke atas. Multazam misalnya usianya sudah 58 tahun, Â anak empat yang sudah menyebar ke berbagai kota. Tidak ada satu pun yang tertarik menenun walau sekedar usaha sampingan seperti dia. Itulah mengapa para perajin tenun ini sudah tua-tua.
Lebih tua dari para perajinnya, alat tenun sederhana dari kayu beserta perlengkapannya seperti morosepil itu konon sudah digunakan sejak mbah-mbah mereka. Mungkin saja itu salah satu alat buatan Sumowihardjo tahun 1924, yang masih tersisa. Yang pasti alat itu  sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Jika satu keluarga berhenti menenun, alat itu akan dipindahkan ke tempat lain yang mau menenun.Â
"Dulu saat masih kelas 2 Madrasah Tsanawiyah, saat masih tinggal di Maduran, saya sudah menenun untuk membiayai sekolah saya. Sekarang tidak ada anak saya yang tertarik untuk menenun. Mereka tinggal dan bekerja di kota, ada yang di Jakarta juga, ada yang jadi tukang kayu usaha mebel," kata Multazam.
Lelaki berkaca mata minus ini tidak pernah berpikir siapa yang akan melanjutkan keterampilan menenun sarung. Baginya, menenun sarung bukan keterampilan yang sulit. Asal mau belajar, menurut dia, orang pasti bisa. Hanya saja anak muda sekarang tidak tertarik karena secara ekonomi kurang memberi hasil.
Dia sendiri seperti banyak perajin lain juga menenun hanya sebagai profesi sampingan setelah kerja bertani sebagai mata pencaharian pokok selesai. Terkadang sehari bisa selesai satu sarung atau lebih. "Nanti, ada yang datang mengambil sarungnya sekaligus membayar ongkosnya. Namanya Kholis. Dia juga akan menyerahkan benang dengan motif sesuai pesanannya."