Gara-gara ada yang menyebut gelar Bapak Reformasi, saya jadi teringat banyak orang yang saya hormati, seperti almarhum Gus Dur dan Cak Nurcholish Madjid, juga Cak Nun atau Emha Ainun Najib. Namun mestinya juga ada gelar Ibu Reformasi yang patut disandang Megawati Soekarnoputri yang bertahun-tahun secara gigih menyuarakan perlawanan tanpa kenal takut terhadap rezim Soeharto, sama seperti Gus Dur.
Merekalah orang-orang yang tidak pamrih dan terus berjuang untuk kebaikan negeri ini usai rezim Soeharto tumbang, yang kita sebut sebagai era reformasi. Namun, tidak satu pun dari tokoh itu yang mengklaim paling berjasa atas reformasi 98 itu. Tidak satu pun dari mereka menuntut sebuah gelar Bapak Reformasi atau Ibu Reformasi. Reformasi memang kerja besar yang melibatkan banyak pihak termasuk mahasiswa yang perannya tidak mungkin bisa diabaikan.
Namun, sikap tawadhu dan ikhlas semacam itu ternyata tidak tercermin kini pada orang yang seharusnya mencontoh sikap bijak itu. Pernyataan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang menyatakan, Â "Tidak masuk akal bapak reformasi kok suruh minta maaf. Orba itu tumbang karena Amien Rais. Jangan kebablasan, jangan jadi pahlawan kesiangan!" [1]sungguh sebuah pernyataan yang arogan dan kebablasan.
Sebagai wakil ketua umum PAN dia pantas membela Amien Rais. Namun, pembelaan itu tentu harus didasari nalar dan fakta yang logis dan jernih. Apa ucapan Amien Rais yang menyebabkan pihak lain menuntut agar Amien Rais meminta maaf kepada Jokowi, itulah yang harus dijelaskan dalam pembelaannya. Jangan membela dengan membabi buta terlebih dengan mengklaim sebagai "Bapak Reformasi tidak masuk akal disuruh minta maaf".
Mengapa Amien Rais sampai disuruh minta maaf itulah yang seharusnya jadi titik tolak pembelaan Taufik Kurniawan. Seniornya itu sampai disuruh minta maaf karena menuduh program pembagian sertifikat tanah Presiden Jokowi itu adalah sebuah "pengibulan". Selain itu, pemerintah juga disebut memberi angin untuk kebangkitan PKI. Ini sebuah tuduhan serius bukan sekedar kritik.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika ada yang menuntut Amien Rais memberikan penjelasan dan data untuk membuktikan tuduhannya itu. Jika tidak bisa, Amien Rais bisa disebut memfitnah Presiden Jokowi. Jika sudah seperti itu, sewajarnya dia disomasi dan disuruh meminta maaf kepada Presiden Jokowi secara terbuka karena tuduhannya juga diungkapkan secara terbuka.
Inilah yang seharusnya jadi fokus pembelaan dan penjelasan Taufik Kurniawan. Alih-alih berlaku demikian, dia malah menonjolkan gelar Bapak Reformasi yang disandangkannya kepada Amien Rais. Padahal soal gelar Bapak Reformasi ini juga belum final karena ada elemen masyarakat yang terlibat saat Reformasi 98 itu, menolak jika Amien Rais diberi gelar itu. Tentu mereka juga punya alasan atas penolakan mereka.
Adalah Boedi Djarot, koordinator Rakyat Bersatu yang pada 2014 lalu sempat menggugat gelar Bapak Reformasi yang diklaim Amien Rais. Dia menyebut, Amien Rais tidak pantas disebut Bapak Reformasi karena telah membuat rakyat Indonesia menjadi kebingungan.Â
"Tidak pantas dia (Amien Rais) disebut bapak reformasi. Dia cuma klaim. Saya waktu itu (zaman Orde Baru) ada di lapangan. Kami yang berdarah, kami yang melawan tentara, kami yang melawan PAM Swakarsa kok tiba-tiba muncul namanya Amien Rais," kata mantan aktivis 98 ini. [2]
Selain Boedi Djarot, masih ada lagi Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Rumah Gerakan 98 (DPN RG 98), Bernard Ali Mumbang Haloho, yang Juni tahun lalu juga mempertanyakan gelar Bapak Reformasi yang disematkan kepada Amien Rais itu. Dia menyebut sejak Mei 1998 hingga MPR menolak Laporan Pertanggungjawaban BJ Habibie sebagai presiden, tidak terlihat peran Amien Rais.
Para mahasiswa yang melakukan pendudukan gedung DPR gelombang kedua tanggal 18 Mei 1998, disebutnya telah menurunkan Amien Rais dari panggung yang dia coba kuasai bersama kelompoknya. Setelah itu, pada 19 Mei 1998 malam di Menteng, Amien Rais tiba-tiba menyerukan agar mahasiswa yang tengah menduduki DPR turut bersamanya dalam Aksi 1 Juta Orang Kepung Istana.Â