Kamis, 16 Oktober 2014, pukul 11.15, rombongan Paguyuban Masyarakat Tradisi (Pametri) Yogyakarta, lelaki dan perempuan yang berpakaian adat Jawa dan membawa sesaji seperti pisang setangkep, bunga setaman, kurungan manuk (sangkar burung), dan dupa mulai berjalan menuju rumah Amien Rais di Sawit Sari Condongcatur, Sleman, Yogyakarta.
Mereka lantas duduk bersila di depan rumah. Mbah Sukir sesepuh Pametri pun mulai memanjatkan doa-doa dengan bahasa Jawa, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana dan orang-orang yang ingin merusak bangsa. "Semoga Bapak Amien Rais lepas dari Sandikolo dan kembali bersih. Semoga bangsa ini terhindar dari bencana dan segala hal yang tidak baik. Semoga rakyat Indonesia bisa sejahtera," ucapnya. [1]
Usai berdoa, Mbah Sukir mengambil ayam cemani, lalu menggunting sedikit bulunya sebagai lambang melepaskan Sandikolo dari Amien Rais. Ayam hitam itu lantas dimasukkan  ke dalam kurungan. Setelah itu, Mbah Sukir mengambil ayam berbulu putih lalu mengangkatnya sambil berteriak. "Ini ayam putih melambangkan kebersihan kesucian. Semoga Bapak Amien Rais kembali bersih dan menjadi negarawan yang baik," ujarnya.
Itulah cuplikan ruwatan yang dilakukan Pametri Yogyakarta, tiga setengah tahun lalu. Sebuah ritual doa dalam masyarakat adat Jawa, yang didasari tujuan baik agar Amien Rais yang dianggap tokoh itu kembali bersih dan menjadi negarawan yang baik. Amien Rais dinilai perlu diruwat karena dianggap bertingkah laku seperti Sengkuni, seorang tokoh dunia pewayangan yang berwatak licik, dan suka menghasut dan adu domba.
Apakah ruwatan itu berhasil? Tampaknya kok tidak. Tanda ketidak-berhasilan itu sudah tampak beberapa hari setelah acara itu. Para kader PAN parpol yang dulu dipimpin Amien Rais itu, justru merasa tersinggung karena panutan mereka dianggap sebagai Sengkuni. Mereka lantas melaporkan aksi Pametri itu ke polisi. Kalau sudah begitu jelas doa dalam ruwatan itu telah membal.
Saya teringat kisah ruwatan itu setelah kemarin media dan grup medsos ramai memberitakan dan mengulas pernyataan Amien Rais yang lantas ditanggapi cukup keras oleh Luhut Binsar Panjaitan menko kemaritiman. Pernyataan dan tindakan Amien Rais itu membuktikan bahwa alasan ruwatan Jawa, 16 Oktober 2014 lalu di Yogyakarta itu memang benar adanya.
Amien Rais ternyata masih terus berlaku kurang bijak dan terpuji dengan pernyataan yang cenderung menghasut, fitnah, arogan, dan mau benar sendiri. Sebuah tingkah laku yang sempat dinilai menggambarkan perilaku Sengkuni tokoh dalam kisah pewayangan itu. Ini bukan penilaian subjektif, tetapi mengacu kepada pernyataan dan tingkah laku Amien Rais selama ini.
Kasus terakhir yang membuat Luhut Binsar Panjaitan meradang adalah pernyataan Amien Rais yang menuduh Presiden Jokowi melakukan "pengibulan" terkait program pembagian sertifikat tanah yang dijalankan Presiden Jokowi. Dia juga menyebut ada unsur pembangkitan PKI dalam pemerintahan Jokowi.
"Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektare, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?". Itulah perkataan Amien dalam sebuah acara diskusi di Bandung, 18 Maret kemarin. "Pemimpin (Jokowi) mengatakan tahun 1965 baru 4 tahun, mana ada PKI balita. Memang nggak ada, tapi kenapa rezim ini memberikan angin membangkitkan PKI." Â [2]
Akal orang sehat pasti dengan mudah bisa menjawab tuduhan Amien Rais itu. Kalau ada orang atau pihak yang dia sebut PKI, ya silakan dilaporkan ke polisi. Hukum tentang PKI dan pengikutnya belum berubah, jadi silakan lapor tetapi tentu harus didukung bukti.
Kalau tuduhan Amien Rais benar, orang atau pihak yang dilaporkan itu pastilah akan diproses secara hukum. Kalau ternyata tuduhan hanya sekedar tuduhan, Amien Rais bisa disebut melakukan fitnah dan layak diproses secara hukum, seperti Alfian Tanjung atau Bambang Tri yang telah dipenjara itu. Ini baru' disebut tindakan yang jantan dan kesatria.
Kali ini Amien Rais memang mengubah tuduhan soal PKI dengan menyebut pemerintahan Jokowi memberikan angin membangkitkan PKI. Namun, ini sebenarnya nadanya hampir sama dengan tuduhan sebelumnya. Artinya, jika tuduhan itu tidak benar, dia juga bisa dipidana.
Tak hanya soal PKI, tetapi juga soal program pembagian sertifikat yang sudah jelas bermanfaat bagi masyarakat banyak itu. Selain itu, bagi yang pernah merasakan sulitnya mengurus sertifikat tanah, baru pada zaman Jokowi inilah pengurusan sertifikat tanah bisa cepat dan waktunya telah ditetapkan maksimal tiga bulan.
Amien Rais mungkin tidak pernah merasakan kesulitan itu. Maklum dia kan tokoh nasional, ndak perlu susah-susah mengurus sendiri sertifikat, semua sudah ada yang dengan sukarela mengurusnya. Lha wong boss besar kok. Coba, Amien Rais turun dan melihat serta mendengar keluhan wong cilik, mungkin saja sikap dan penilaiannya jadi berubah.
Oleh karena itu, Amien Rais seharusnya menyadari konsekuensi dari tuduhannya itu. Pemerintahan Presiden Jokowi ini melibatkan banyak orang, juga beberapa jenderal yang jelas rekam jejaknya. Wajarlah kalau seorang Luhut Binsar Panjaitan merasa terusik dan marah dengan tuduhannya itu.Â
"Misalnya ada senior bilang bahwa ngasih sertifikat itu ngibulin gitu apanya yang dikibulin? Sertifikat itu dulu prosesnya lama, panjang dan sedikit. Sekarang proses cepat dan banyak. Salahnya di mana? Jadi asbun aja. Jadi nggak boleh kita asal ngomong apalagi senior-senior. Dia kan 70 berapa tahun, saya kan 71 tahun juga.
Jangan asal kritik saja. Saya tahu track recordmu kok. Kalau kau merasa paling bersih kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga kok, ya sudah diam saja lah. Tapi jangan main-main, kalau main-main kita bisa cari dosamu kok. Emang kau siapa?" Itulah pernyataan Luhut Binsar Panjaitan ujar Luhut Senin kemarin. [4]
Nah, jika sudah seperti ini, situasi politik jadi sedikit panas. Meski begitu, saya kurang sependapat jika para senior dan sesepuh itu hanya sekedar saling gertak dan akan membuka kartu lawan kalau yang lain tidak juga bisa menjaga ucapan dan mulutnya. Karena Amien Rais itu sudah sering mengeluarkan pernyataan yang bisa dinilai cenderung menghasut dan fitnah seperti itu, sudah waktunya pendekatan hukumlah yang dipakai.Â
Usia tua normalnya memang diikuti oleh perubahan perilaku dan pernyataan yang lebih bijak. Namun, jujur saja, hal itu memang tidak ditunjukkan oleh Amien Rais. Jika menoleh ke belakang saat Pilkada DKI Jakarta lalu, dengan pernyataannya yang begitu kasar dan keras, tampak belum berubah. Apakah ini memang sebuah ciri perilaku politik yang konsisten?
Entahlah. Terkadang sebagai rakyat kecil, saya lebih setuju dengan cara ruwatan yang dilakukan Pametri Yogyakarta 16 Oktober 2014 lalu. Namun, iklim zaman now mungkin sudah banyak mengalami anomali dan degradasi batin. Jadi, tampaknya untuk kasus Amien Rais ini mungkin yang tepat adalah pendekatan hukum positif. Mungkin, siapa tahu, Amien juga ingin merasakan perjuangan model Nelson Mandela.
Usia tua memang terkadang mendatangkan keinginan yang tidak lumrah.
Salam salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H